SYAKHRUDDIN.COM – Presiden Joko Widodo memilih Nusantara untuk menjadi nama ibu kota negara (IKN) baru yang berlokasi di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim).
Setidaknya ada 80 nama lebih yang disodorkan kepada Jokowi untuk nama ibu kota baru ini. Nama-nama tersebut antara lain Negara Jaya, Nusantara Jaya, Nusa Karya, Nusa Jaya, Pertiwipura, Warnapura, Cakrawalapura, hingga Kartanegara.
Dosen Sejarah UGM Sri Margana memaparkan bahwa kata Nusantara berasal dari bahasa Jawa Kuno yang merupakan sinonim dari bahasa Sansekerta Dvipantara. Artinya adalah “Pulau-pulau di antara” dua samudera dan benua.
Kata Nusantara muncul saat Patih Gadjah Mada mengikrarkan sumpahnya untuk menyatukan Nusantara yang merujuk berbagai wilayah. Nusantara mencakup sebagian Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei, termasuk Madagaskar.
“[Saat itu] konteksnya ketika Gadjah Mada dilantik sebagai patih, dan beliau mengucap sumpah ingin menyatukan Nusantara,” tutur Margana kepada CNNIndonesia.com, Selasa 18 jANUARI 2022.
Margana mengatakan bahasa Sansekerta saat itu tidak hanya digunakan di Pulau Jawa, tetapi juga Kalimantan dan Sumatera.
“Bukti-bukti epigrafis, yang berupa prasati-prasasti tertua masa Hindu Budha di Indonesia menunjukkan bahwa Bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta tidak hanya dipakai di Jawa tetapi juga di Sumatera dan Kalimantan,” ujar Margana.
Saat ini, kata Nusantara sudah diadopsi dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut Margana, kata Nusantara saat ini merupakan bentuk wawasan atau cara pandang.
“[Kata Nusantara] artinya kurang lebih sebagai wawasan atau cara pandang bangsa Indonesia terhadap wilayahnya baik di daratan atau kepulauan maupun di lautan,” tutur Margana.
“Negeri yang terdiri dari pulau-pulau (Dvipantara) sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Jataka dan dalam Ramayana dinyatakan adanya pulau Suwarnadwipa, dan Jawadwipa (Syafei, 1978, hlm. 85; Coedes, 2010, hlm. 35 dan 44),” dikutip dari halaman 15 artikel ilmiah Majapahit dan Negeri-Negeri Sezaman: Interaksi dan Pandangan yang diunggah pada situs resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pendeta Cina I-Tsing menyebut Nusantara adalah negeri-negeri yang ia lewati dalam perjalanan dari India menuju China. Beberapa di antaranya adalah Shili Foshi (Sriwijaya), Moluoyou (Malayu), She-po (Jawa), dan Ho-ling (pantai utara Jawa Tengah).
Sebagian besar penduduk Nusantara tercatat sebagai pemeluk agama Buddha dan Hindu. Bandar-bandar di Nusantara menjadi tujuan niaga bagi para pelaut India karena menghasilkan emas dan hasil bumi lokal berupa rempah-rempah.
Majapahit memasukkan negeri-negeri Nusantara di dalam wilayah Madya. Negeri-negeri itu disebut terletak di luar kerajaan Majapahit, tetapi masih di sekitar Semenanjung Melayu.
Sejarawan JJ Rizal menyampaikan pandangan berbeda terkait histori kata Nusantara. Menurutnya, kata Nusantara digunakan Majapahit dengan mencerminkan bias Jawa yang dominan.
Rizal menyebut posisi Majapahit saat itu sebagai kerajaan yang akan menaklukkan wilayah di luar Jawa.
“Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit itu yang mendikotomi antara negaragung (kota Majapahit) dengan mancanegara (luar kota Majapahit),” tutur Rizal saat dihubungi CNN.
Oleh karena itu, Rizal berpandangan bahwa sebutan Nusantara ini bukan hanya berarti kewilayahan tetapi juga peradaban.
Ia menjelaskan dalam konteks Jawa sebutan mancanegara digunakan untuk menjelaskan wilayah yang tidak beradab, bodoh, tidak teratur atau sesuatu yang sebaliknya dari negaragung yang beradab, harmonis.
Lebih lanjut, Rizal mengkritik penggunaan nama Nusantara sebagai nama ibu kota baru. Menurutnya, pemakaian nama Nusantara itu tidak dapat disandingkan sebagaimana pemakaian Nusantara sebagai nama untuk Wawasan Nusantara dari masa Juanda.
Ia memaparkan bahwa sejak zaman pergerakan kemerdekaan, istilah ini muncul untuk digunakan sebagai nama wilayah bangsa dan negara yang hendak didirikan. Namun, nama Nusantara segera tersingkir karena dianggap Jawa sentris, atau penuh feodalisme.
“Nah, pola Nusantara dari Majapahit ini yang harus dibaca dalam soal pembangunan ibu kota baru, apakah sudah ditinggalkan semua pola feodal yang subordinatif dalam prosesnya?” ujarnya (syakh/cnn)