SYAKHRUDDIN.COM – Informasi mengejutkan soal Putra Mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) diungkap oleh seorang mantan pejabat keamanan senior Arab Saudi.
MBS disebut pernah berbicara soal pembunuhan seorang Raja Saudi yang masih aktif menjabat sebelum ayahnya, Raja Salman, berkuasa.
Dilansir Associated Press, Senin 25 Oktober 2021, mantan pejabat intelijen Saudi itu yaitu Saad al-Jabri, dia diketahui pernah membantu mengawasi upaya kontraterorisme gabungan dengan Amerika Serikat (AS), dalam wawancara dengan program ’60 Minutes’ yang ditayangkan Minggu 24 Oktober 2021 waktu setempat.
Al-Jabri yang kini tinggal di pengasingan di Kanada, mengklaim bahwa pada tahun 2014 dalam pertemuan dengan Pangeran Mohammed bin Nayef, yang saat itu menjabat kepala intelijen dan menjabat Menteri Dalam Negeri, MBS yang masih muda sesumbar mengatakan dirinya bisa membunuh Raja Abdullah untuk memberi jalan bagi ayahnya agar naik takhta.
Dilansir dilaman detiknews, pada saat itu, MBS belum memegang jabatan penting dalam pemerintahan, namun menjadi gatekeeper untuk istana ayahnya yang menjadi ahli waris takhta. Raja Salman naik takhta pada Januari 2015 setelah Raja Abdullah, yang merupakan saudara tirinya, meninggal dunia secara wajar.
Al-Jabri mengatakan, MBS memberitahunya terkait keinginan membunuh Raja Abdullah. Dikatakan bahwa MBS dapat membunuhnya dengan menggunakan cincin racun dari Rusia.
“Dia (MBS-red) memberitahunya, ‘Saya ingin membunuh Raja Abdullah. Saya mendapatkan cincin racun dari Rusia. Cukup bagi saya untuk berjabat tangan dengannya dan dia akan selesai’,” klaim Al-Jabri dalam wawancara itu.
Al-Jabri menuturkan bahwa intelijen Saudi menanggapi dengan serius ancaman itu. Menurutnya, isu tersebut ditangani dalam lingkup keluarga Kerajaan Saudi. Namun, Al-Jabri mengklaim bahwa dirinya masih memiliki rekaman video untuk pertemuan itu.
Al-Jabri memanfaatkan wawancara dengan program ’60 Minutes’ ini untuk memperingatkan MBS bahwa dirinya merekam sebuah video yang mengungkapkan lebih banyak rahasia Kerajaan Saudi dan beberapa rahasia AS. Sebuah klip singkat tanpa suara ditunjukkan sebentar kepada koresponden ’60 Minutes’, Scott Pelley.
Klaim ini menjadi upaya terbaru dari Al-Jabri untuk berusaha menekan MBS, yang menurut keluarga Al-Jabri telah menahan dua anak Al-Jabri yang sudah dewasa dan memanfaatkan mereka sebagai pion untuk memaksa Al-Jabri kembali ke Saudi.
Nantinya jika Al-Jabri kembali ke Saudi, dia terancam menghadapi penganiayaan, dijebloskan ke penjara atau berstatus tahanan rumah seperti mantan bosnya, Pangeran Mohammed bin Nayef, yang dulu sangat berpengaruh. Pangeran Mohammed bin Nayef diketahui dicoret dari garis suksesi oleh MBS tahun 2017.
Al-Jabri yang kini berusia 62 tahun, mengklaim MBS tidak berhenti sampai ‘dia melihat saya mati’ karena ‘dia mengkhawatirkan informasi dari saya’. Lebih lanjut, Al-Jabri menggambarkan MBS sebagai ‘seorang psikopat, pembunuh’.
Menanggapi klaim itu, pemerintah Saudi memberitahu CBS News bahwa Al-Jabri merupakan ‘mantan pejabat pemerintahan yang didiskreditkan dengan sejarah panjang memalsukan dan menciptakan pengalihan untuk menyembunyikan kejahatan finansial yang dilakukannya’.
Pemerintah Saudi telah mengajukan permintaan ekstradisi dan pemberitahuan Interpol untuk Al-Jabri atas tuduhan korupsi. Al-Jabri sendiri mengklaim kekayaan yang dimilikinya didapat dari kemurahan hati raja-raja yang dia layani.
Diketahui Al-Jabri sebelumnya mengajukan gugatan hukum federal di AS terhadap MBS, yang menuduh MBS berusaha menjebak dirinya dan membunuh dirinya di AS maupun Kanada.
Sementara entitas Saudi menggugat Al-Jabri di AS dan Kanada atas tuduhan mencuri dana setengah miliar dolar AS dari anggaran pemberantasan korupsi Saudi.
Al-Janri juga menyebut MBS mengerahkan tim pembunuh bayaran untuk membunuhnya saat eks mata-mata ini tinggal dalam pengasingan di Kanada.
Seperti dilansir AFP, Senin 25 Oktober 2021, Al-Jabri mengklaim dirinya menjadi target usai melarikan diri dari Saudi menyusul perebutan kekuasaan oleh MBS tahun 2017 lalu.
Dalam wawancara dengan program ’60 Minutes’, Al-Jabri menyebut seorang rekannya pada dinas intelijen Timur Tengah memperingatkan dirinya bisa bernasib sama dengan wartawan Saudi, Jamal Khashoggi, yang dibunuh oleh skuad pembunuhan di dalam Konsulat Saudi di Istanbul, Turki tahun 2018.
“Peringatan yang saya terima, jangan berada di dekat misi Saudi manapun di Kanada. Jangan pergi ke konsulat. Jangan pergi ke kedutaan… Anda berada di daftar teratas,” tutur Al-Jabri dalam wawancara itu.
Dia menuturkan bahwa tim yang ditugaskan membunuh dirinya tiba di Kanada pada Oktober 2018, namun kemudian dideportasi karena berbohong pada pejabat bea cukai dan kedapatan membawa benda-benda mencurigakan. Tidak disebutkan lebih lanjut dari mana Al-Jabri mendapatkan informasi tersebut.
AFP tidak bisa memverifikasi secara independen klaim Al-Jabri tersebut. Kementerian Luar Negeri Kanada belum memberikan komentarnya.
Namun beberapa pejabat Kanada menuturkan kepada program ’60 Minutes’ bahwa mereka ‘mengetahui adanya insiden di mana aktor-aktor asing berupaya untuk… mengancam… mereka yang tinggal di Kanada’. Disebutkan bahwa ancaman itu ‘sama sekali tidak dapat diterima’ oleh otoritas Kanada (syakh/detiknews)