SYAKHRUDDIN.COM – Diksi kudeta sepekan ini sempat menjadi trending topik, setelah Jenderal TNI (Pur) Moeldoko didapuk sebagai Ketua Partai Demokrat versi KLB. Pemberitaan terkait kudeta selain dimaknakan secara harfiah, namun juga bisa diartikan sebagai metaforis.
Dalam sejarah politik nasional, pernah dikenal kudeta berdarah (PKI) kudeta merangkak (Orde Baru ke Orde Lama) dan kini kudeta yang oleh Hamid Awaluddin secara satiris disebut kudeta jenderal ke mayor.
Dilansir dilaman Pinisi. CO.ID -Ketimbang dengan jenderal lainnya yang mendirikan atau minimal membesarkan partai setelah pensiun, seperti SBY, Wiranto, Prabowo, dan Sutyoso, sebaliknya Moeldoko tanpa perlu berkeringat, Kepala Staf Kepresidenan ini lansung lenggang kangkung duduk di pucuk pimpinan Partai Demokrat.
Sebetulnya setelah purnabakti, banyak jenderal yang berpolitik praktis, namun tidak sedikit yang tetap menempuh jalan politik negara. Boleh disebut dua contoh jenderal dari banyak yang tetap memerankan politik negara, yaitu Jenderal M. Jusuf, Menhankam/Panglima ABRI (1978-1983), dan Letnan Jenderal TNI (Pur) Sjafrie Syamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan (2010-2014) dan mantan Panglima Kodam Jaya.
Menyoal kudeta, Jenderal M. Jusuf saat Panglima ABRI – TNI sekarang — pernah digadang-gadang oleh perwira-perwira muda untuk melakukan “kudeta” karena ia digantikan oleh Jenderal LB Moerdani.
Tak dimungkiri, ketenaran Jusuf mulai mendongkrak namanya, sehingga Presiden Soeharto mulai merasa terusik. Walaupun sulit dibuktikan, mulai banyak laporan yang masuk ke Presiden Soeharto bahwa Jusuf sedang berusaha menggalang dukungan masyarakat demi tujuan dan ambisi politiknya. Apalagi Jusuf sebagai media darling, — tokoh yang layak jual membuat cemburu sejumlah pihak lain.
Kepopuleran Jusuf memunculkan isu persaingan antara dirinya dengan Presiden Soeharto. Konon segala gerak-gerik Jusuf dimata-matai oleh LB Moerdani sebagai orang intel. Ini kemudian memunculkan kerisauan Soeharto, sang pengusa Orde Baru ini terhadap sepak terjang Jusuf. Pasalnya, Moerdani melaporkan kepada Soeharto bahwa Jusuf tengah memobilasasi kekuatan internal untuk menjadi presiden.
Selama masa jabatan, Jusuf dinilai mengejar popularitas di kalangan para perwira, misalnya dengan memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi perwira yang berprestasi.
Suatu malam, Presiden Soeharto memanggil sejumlah pejabat tinggi di rumahnya untuk membahas masalah aktual, termasuk soal Jusuf, yang diduga menyembunyikan ambisi pribadi.
Dituding begitu, darah Jusuf kontan berdesir. Ia spontan menggebrak meja. Braaak! Semua yang hadir di ruangan itu terkesiap dan diam seribu bahasa termasuk Presiden. Dengan suara lantang Jusuf berseru, “Bohong. Itu tidak benar semua!
Presiden kemudian mencairkan suasana yang keburu menegang. Semua keluar ruangan kecuali Jusuf dan Presiden. Kejadian ini adalah titik rendah hubungan antara kedua tokoh Orde Baru ini.
Jusuf akhirrya digantikan LB Moerdani sebagai Menhankam/Pangab, pada 1983. Meski Soeharto masih menginginkan Jusuf sebagai Menteri Hankam, namun Jusuf menolak sembari menyampaikan terima kasih.
Ini lantas mendorong sejumlah perwira-perwira muda untuk mendesak Jusuf mengambil alih kekuasaan, karena sejumlah perwira itu tidak senang dengan perilaku LB Moerdani. Jusuf mendatangi kesatuan ini, menyambangi keluarga mereka dan mengatakan di hadapan prajurit-prajurit bahwa apa yang dilakukannya tidak elok. “Sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes.”
Kepada setiap perwira Jusuf meminta agar tetap disiplin dan menjalankan perintah atasan mereka. Dalam tempo tiga jam, ia memadamkan sebuah rencana untuk mengambil alih kepemimpinan negara akibat kekecewaan mereka atas rencana pergantian Jusuf sebagai Menhankam. “Sejarah kita mencatat selama berabad-abad aib itu bisa sampai terjadi,” kata Jusuf yang dikemudian hari dikenal sebagai pembela utama LB Moerdani dalam kasus penembakan misterius, sebagaima dikisahkan Atmadji Sumarkidjo dalam buku Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit, 2006.
Tidak persis sama dengan kasus Jusuf, Sjafrie yang kini merupakan Asisten Khusus Menteri Pertahanan ini, membenarkan bahwa jika seorang jenderal sudah pensiun mereka tidak memiliki kekuatan dan pengaruh lagi dibanding jika ia masih menjabat.
Namun begitu, Sjafrie senantiasa memerankan dirinya sebagai sosok prajurit pejuang yang konsisten terhadap bangsa dan militer. Tak heran jika mantan Sekjen Departemen Pertahanan ini mengagumi dan meneladani kejuangan dan sikap hidup Jenderal Andi Mattalatta dan Jenderal M. Jusuf.
Karena itu, obsesi panglima termuda saat menjadi Pangdam Jaya itu, ingin selalu dipercaya, sebagaimana banyak jabatan strategis yang dipercayakan kepadanya.
Sjafrie melihat anggota TNI saat ini sudah kritis terhadap hal-hal yang tidak profesional. “Apalagi mau kudeta, jangan sampai berpikir kesana, bisa dimakan dulu,” kata lulusan terbaik dalam pendidikan Terorism In Low Intensity Conflict, USA itu, dalam buku Tentang Sejumlah Orang Sulawesi Selatan, yang disusun Alif we Onggang, 1998.
Sampai kini, Sjafrie mengaku memegang teguh nilai-nilai siri’ sebagai pijakan hidup termasuk agar tidak mudah kecemplung dalam permainan politik. Siri’ buat orang Bugis Makassar, adalah filosofi hidup yang mengajarkan harga diri dan kehormatan.
Itulah sebabnya, saat Sjafrie diminta oleh sahabatnya Prabowo Subianto dan beberapa elemen masyarakat untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada 2017, ia buru-buru menolak, dan beralasan bahwa dirinya bukan orang ‘politik’ yang berdarah-darah di partai. ”Kasihan orang yang sudah sekian lama berjuang, yang menjadi kader partai, berkeringat bahkan berdarah-darah di partai tiba-tiba disalib orang dari luar partai,” kata Sjafrie menakar dirinya.
Karena itu, Sjafrie selalu mengingat pesan Jenderal Andi Mattalatta agar selalu menjaga kehormatan, harga diri, sebagaimana ajaran siri’ selain disiplin dan tidak mengenal menyerah.
Dalam wawancara dengan Majalah PINISI saat Sjafrie menjadi Sekjen Kementerian Pertahanan, — mengemukakan bahwa modal hidup orang Bugis Makassar adalah menjaga kehormatan, seperti termaktub dalam prinsip dan nilai-nilai siri-pesse.
Mattalatta sendiri menjaga segala sikap, karakter, pikiran serta tindakan yang terwujud dalam siri’. Sepanjang hidupnya siri’ bersemayam dalam dirinya hingga ia wafat.
Di tengah godaan yang pragmatis-hedonis, memang sungguh berat menjaga nilai-nilai siri’ ini. Sebab, jika siri’ hilang maka hidup tak berguna lagi.
Anak milenial bilang…ke laut aja. (Sumber Alif/Pinisi CO.Id)