SYAKHRUDDIN.COM – Mantan Kadivhubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dilansir dilaman DetikNews, Napoleon terbukti bersalah menerima suap USD 370 ribu dan SGD 200 ribu dari Djoko Tjandra berkaitan penghapusan red notice/DPO di Imigrasi.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar hakim ketua Muhammad Damis, saat membacakan surat putusan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (10/3/21).
Napoleon terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan,” lanjut hakim Damis.
Hakim mengatakan sejumlah saksi dan barang bukti telah menunjukkan adanya pemberian uang dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon. Napoleon dinyatakan hakim menerima uang USD 370 ribu dan SGD 200 ribu, jika dirupiahkan sekitar Rp 7,4 miliar.
“Fakta hukum rekaman CCTV memperlihatkan Tommy Sumardi di Gedung TNCC Polri membawa paper bag putih, dan disusul oleh Brigjen Prasetijo, kemudian saksi Tommy Sumardi dan Prasetijo bersamaan keluar yang mana saksi Tommy Sumardi sudah tidak membawa paper bag putih, yang mana paper bag itu berisi uang,” ucap hakim anggota Joko Soebagyo.
“Dari rangkaian di atas terdakwa Irjen Pol Napoleon telah menerima uang USD 370 ribu dan SGD 200 ribu, dan saksi Prasetijo telah menerima uang USD 100 ribu dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Menimbang maka unsur pemberian hadiah atau janji telah terpenuhi dalam diri terdakwa,” lanjut hakim Joko. Napoleon disebut hakim sengaja bersurat ke imigrasi agar imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra di sistem.
Hakim mengatakan sejatinya Napoleon tahu red notice Djoko Tjandra di Interpol pusat sudah terhapus. Oleh karena itu, dia menyurati imigrasi sehingga nama Djoko Tjandra terhapus.
Padahal, kata hakim, Kejaksaan Agung masih membutuhkan red notice Djoko Tjandra. Saat itu Djoko Tjandra masih menjadi buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.
“Menimbang dari uraian di atas sekalipun kejaksaan masih membutuhkan red notice Joko Soegiarto Tjandra, tapi terdakwa tidak prioritaskan pemberitahuan ke kejaksaan, tapi terdakwa prioritaskan bersurat ke imigrasi, sehingga terhapus nama Djoko Tjandra dari sistem imigrasi,” jelas hakim.
Menurut hakim, uang sekitar Rp 7 miliar yang diberikan Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi itu dimaksudkan agar Napoleon membantu menghapus DPO Djoko Tjandra di imigrasi.
“Menimbang pemberian uang agar terdakwa bermaksud melakukan perbuatan memberikan informasi agar pihak imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra. Padahal tugas itu bukan kewajiban terdakwa, tapi terdakwa menyurati imigrasi agar menghapus nama Djoko Tjandra di sistem imigrasi,” papar hakim.
Hakim mengungkapkan, karena perbuatan Napoleon itu, Djoko Tjandra bisa masuk RI dari Malaysia melalui jalur darat Pontianak.
“Di persidangan terungkap bahwa setelah Divhubinter bersurat ke imigrasi dan Anna Boentaran, Divhubinter bersurat ke Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung bersurat yang isinya nama Djoko Tjandra sudah tidak terdata di imigrasi, karena Kejaksaan Agung tidak meminta.
Dari situ Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari SIMKIM, oleh karenanya Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia,” tutur hakim.
Perbuatan Napoleon dan Prasetijo dinilai hakim bertentangan. Seharusnya Napoleon, kata hakim, sebagai anggota penegak hukum tidak membantu Djoko Tjandra yang berstatus buron.
“Seharusnya sebagai orang yang tahu status Djoko Tjandra, seharusnya terdakwa memberi tahu ke Kejaksaan agar melajukan pembaruan, bukan secara intens bersurat ke imigrasi, sehingga imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra. Menimbang perbuatan itu terdakwa telah bertentangan dari jabatannya selaku Kadivhubinter Polri,” tambah hakim.
Diketahui, putusan hukuman terhadap Napoleon ini lebih tinggi dibandingkan tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut Napoleon 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan (syakhruddin)