SYAKHRUDDIN.COM – Koalisi Selamatkan Laut Indonesia menduga Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah melakukan tindak pidana korupsi dalam penambangan pasir laut di perairan Pulau Kodingareng, Sulsel.
Nurdin sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penerimaan gratifikasi terkait beberapa proyek infrastruktur.
Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin menduga Nurdin terlibat dugaan korupsi dalam memuluskan proyek tambang pasir pada 2020 lalu. Ia menduga ada praktek ijon politik dalam proyek tambang pasir tersebut.
Dilansir dilaman CNN, “Kami menduga ada praktek ijon politik gubernur Sulawesi Selatan (kepada) tim suksesnya dalam memuluskan proyek atau dapat tender pengadaan pasir laut di wilayah tangkap nelayan Kodingareng,” kata Al Amin dikutip dari YouTube Jatam, Senin (1/3/21).
Koordinator Nasional Jatam Merah Johansyah mengatakan pihaknya mewakili Koalisi Selamatkan Laut Indonesia sudah melaporkan dugaan korupsi tersebut ke KPK pada akhir tahun lalu. “Kami kirim ke KPK. Tanda terima oleh KPK tanggal 6 Oktober 2020,” kata Merah kepadaCNN.
Mengutip dokumen pelaporan yang Jatam sampaikan ke KPK, Nurdin diduga terlibat dalam dugaan gratifikasi praktik ijon politik, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, monopoli dan persaingan usaha yang tak sehat.
Duduk perkaranya bermula dari dua perusahaan pengelola tambang pasir, PT Banteng Laut Indonesia (BLI) dan PT Nugraha Indonesia Timur (NIT) yang mengambil pasir di wilayah tangkap nelayan Kodingareng.
Pada proyek tersebut, kedua perusahaan bekerja sama dengan perusahaan asal Belanda Boskalis. Tiga perusahaan itu juga melayani pemasokan pasir laut untuk proyek reklamasi Makassar New Port (MNP), yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Laporan menemukan ada nama-nama yang terkait erat dengan Nurdin di kursi jabatan tinggi kedua perusahaan itu.mSeperti, Akbar Nugraha, yang terlibat dalam tim pemenangan Nurdin saat Pilkada 2018, duduk sebagai direktur utama PT BLI dan wakil direktur PT NIT. Akbar juga menjabat sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Sulsel.
Kemudian Abil Iksan, juga terlibat dalam tim pemenangan menjabat direktur PT BLI dan direktur PT NIT. Akbar dan Abil disebut-sebut sebagai sahabat anak Nurdin, Fathul Fauzi Nurdin. Fathul diduga menjadi penghubung antara Nurdin dengan Akbar dan Abil.
Selanjutnya ada Sunny Tanuwidjaja sebagai komisaris PT BLI, yang merupakan mantan staf khusus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada periode Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Nama Sunny juga pernah terseret dalam kasus suap dan korupsi reklamasi Jakarta.
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan sedang mengkonfirmasi terkait laporan Koalisi Selamatkan Laut Indonesia tersebut. Sementara Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pihaknya bakal menampung dan menindaklanjuti setiap informasi dugaan korupsi Nurdin.
“Karenanya kita mengapresiasi informasi yang disampaikan tadi. Tapi hari ini, kita sedang menangani perkara yang sebagaimana yang saya sebutkan tadi,” kata Firli dalam konferensi pers pada Minggu (28/2/21) dini hari.
Kuasa hukum Nurdin, Arman Hanis menyatakan belum bisa memberikan tanggapan terkait dugaan tersebut karena belum berkomunikasi dengan kliennya. “Saya belum bisa memberikan tanggapan karena belum bertemu Pak NA (Nurdin), beliau masih isolasi di rutan C1,” kata Arman kepada CNN.
Sementara Sunny belum menjawab permintaan konfirmasi CNN yang disampaikan melalui pesan singkat sampai berita ini ditulis.
Direktur Walhi Sulsel Amin mengatakan KPK harus mengusut kasus korupsi yang diduga dilakukan Nurdin pada tambang pasir di Kodingareng. Terlebih, konflik tersebut telah mengorbankan kesejahteraan para nelayan di sana.
Ia menjelaskan penolakan terhadap tambang pasir milik PT BLI dan PT NIT gencar dilakukan masyarakat Kodingareng sejak tahun lalu. Alih-alih mendapat keadilan, nelayan justru ditangkap aparat setelah berdemo.
Salah satu nelayan, Manre, dikriminalisasi dengan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang karena merobek amplop berisi uang yang diberikan pihak perusahaan. Manre justru dituding merendahkan uang rupiah.
Amin bercerita saat itu pihaknya bersama nelayan dan para istri nelayan Kodingareng mendatangi Kantor Gubernur Sulsel untuk mengadukan perkara tersebut. Para nelayan juga mengonfirmasi kedekatan Nurdin dengan perusahaan pengelola tambang pasir.
Nelayan dan para istri nelayan, kata Amin, sampai menginap karena tak kunjung diterima untuk bertatap muka dengan Nurdin. Mereka juga melakukan doa bersama di depan kantor Nurdin.
“Saya ingat betul, perempuan Kodingareng mengaji, berdoa dan meminta keadilan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar gubernur Sulawesi Selatan diberi teguran,” kata Amin.
Sebelumnya, ICW juga mendesak KPK menelusuri dugaan korupsi Nurdin dalam sejumlah proyek infrastruktur lainnya di Sulsel. ICW menyebut Nurdin diduga memanfaatkan kewenangannya dalam memberikan AMDAL ke PT BLI dan PT NIT.
Nurdin ditetapkan sebagai tersangka korupsi karena diduga menerima uang sejumlah Rp5,4 miliar terkait sejumlah proyek infrastruktur. Selain Nurdin, KPK juga menjerat Sekretaris Dinas PUPR Sulsel Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan Nurdin siap bertanggung jawab dunia akhirat bahwa dirinya tak pernah menerima uang seperti yang dituduhkan KPK.
Hasto mengklaim Nurdin merupakan sosok yang baik, bahkan pernah menerima Bung Hatta Anti-Corruption Award. Nurdin sendiri merupakan kepala daerah yang diusung PDIP dalam Pilkada 2018 (syakhruddin)