SYAKHRUDDIN,COM – Jika bertanya perusahaan terkaya di dunia, maka jawabannya adalah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ini adalah perusahaan multinasional pertama di dunia, yang dibentuk oleh Belanda.
Perusahaan ini memiliki tujuan untuk melakukan monopoli rempah dan jalur perdagangan di Asia khususnya Indonesia. Dengan kekuatan dan sumber keuangan yang besar, VOC adalah perusahaan raksasa internasional pertama di dunia.
Dilansir dilaman Intisari online, Menurut Britanica, kehadiran mereka memicu perubahan besar dalam jangka panjang. Berbentuk organisasi tunggal, diperdagangkan di daerah yang luas, memiliki kekuatan militer yang unggul, serta memiliki birokrasi dan pegawai membuatnya menjadi perusahaan terkuat pada masa itu.
Singkatnya, VOC mampu memaksakan kehendaknya kepada pengusasa lain, dan memaksa mereka menerima syarat perdagangan. Perusahaan ini meletakkan dasar dari kerajaan komersil Belanda dan menjadi kekuatan tertinggi nusantara.
Selama abad ke-17 VOC melangkah jauh ke arah pembentukan kendali komersial di pulau-pulau Indonesia. Mereka merebut Malaka dari Portugis (1641), mengurung Inggris setelah periode persaingan sengit ke sebuah pabrik di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Lalu mendirikan jaringan pabrik di pulau-pulau timur.
Meskipun ingin membatasi aktivitasnya pada perdagangan, perusahaan ini juga masuk ke dalam politik lokal di Jawa dan di tempat lain. VOC ikut campur uruan kerajaan, menjadi penengah dalam sengketa kerajaan dan dalam konflik antara persaingan penguasa.
Membuat VOC secara tidak langsung muncul sebagai entitas politik utama di nusantara. Sejak tahun 1602-1799, VOC mempekerjakan hampir satu juga penduduk Eropa dikirim ke Asia. Menggunakan sekitar 4785 kapal dagang menuju Asia dan membawa 2,5 juta ton barang dagang.
Kesuksesan VOC di Indonesia membuatnya menerbitkan saham pertama di dunia.
Di bawah kepemimpinan jenderal Jan Pieterzoon Coen dan penerusnya, Anthony van Diemen (1636-1645), dan Joan Maetsuyker (1653-1678).
Kemudian mendirikan pusat dagang di Asia di kota Jayakarta yang kemudian diubah menjadi Batavia, diberikan hak dagang oleh kesultanan Banten. Oleh Gubernur Jenderal Pieter Both menjadikan Jayakarta sebagai pusat administrasi, dan mengubahnya menjadi kota dagang terbesar dengan benteng dan pelabuhan.
Tak hanya di Batavia, VOC juga memantapkan dirinya di dekat Jepang, menjadi satu-satunya perusahaan yang diizinkan berdagang di sepanjang Malabar Cost di India, menyingkirkan Portugis, di Sri Lanka, dan Tanjung Harapan Afrika Selatan, dan seluruh Asia.
Untuk melancarkan monopoli komersilnya, VOC juga mendirikan pabrik perusahaan untuk pengumpulan hasil dan menekan para penguasa perorangan untuk berbisnis.
Mengendalikan sumber-sumber pasokan produk tertentu seperti produksi cengkeh, misalnya terbatas di Ambon, pala dan gada ke Kepulauan Banda.
Pada abad ke-18, didorong melalui sistem pengiriman paksa dan kontinjensi.
Kontinjensi merupakan bentuk pajak yang terutang dalam bentuk natura di wilayah yang dikendalikan langsung oleh perusahaan.
Seperti pengiriman paksa terdiri dari produksi yang dipaksa ditanam oleh pembudidaya lokal dan dijual kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan.
Akibatnya, seluruh sistem perdagangan perusahaan dirancang untuk mengekstraksi hasil bumi dari Hindia Timur untuk dibuang ke pasar Eropa.
Keuntungan menjadi milik perusahaan, bukan produsen. Para pedagang pribumi di kawasan itu disingkirkan oleh VOC karena ia menguasai lebih banyak perdagangan ekspor nusantara.
Menurut Visual Capitalist, VOC mengalami puncak kejayaan pada fenomena tulip mania, dengan keuntungan hingga 78 juga Gulden, Tulip Mania adalah masa di mana bibit unggul tulip Belanda harganya melonjak drastis.
Manurut laporan tahun 2017, kekayaan VOC saat itu mencapai 7,9 triliun dollar AS, atau sekitar Rp107.037,1 Triliun. Kekayaan itu, setara dengan gabungan 20 perusahaan moderen saat ini, seperti Apple, Microsoft, Facebook, Cevron, dan ExxonMobil.
Bahkan perusahaan terkaya di dunia Apple.Inc tak mampu menandingi kekayaan VOC.
Namun, VOC hancur dari dalam karena korupsi yang merajalela. Kemudian ambruk pada tahun 1799.
Semua asetnya dilimpahkan ke kerajaan Hindia Belanda, setelah kemerdekaan konon menjadi milik Republik Indonesia (syakhruddin)