
SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Keputusan Mahkamah Agung tentang kenaikan tarif BPJS mendapat tantangan baru dengan lahirnya Perspress No. 64/2020 yang kembali menaikkan besaran yuran BPJS, berikut tulisan Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M.Sc yang menyoroti persoalan diatas dari sudut pandang seorang pemerhati kebijakan publik, berikut Ulasannya ;
Dalam Perpres No. 64 tahun 2020, pemerintah menetapkan besaran iuran kembali naik menjadi Rp100.000 untuk kelas II dan Rp150.000 per bulan untuk kelas I. Sementara iuran untuk peserta BPJS kelas III ditetapkan di angka Rp25.500 per bulan. Pada tahun 2021 iuran kelas III baru naik menjadi Rp35.000 per bulan.
Berita tersebut, sangat mengagetkan masyarakat, termasuk juga barangkali virus corona itu terkaget juga. Karena inangnya (manusia), buyar pikirannya memikirkan virus yang sedang berbulan madu dengan inangnya.
Betapa tidak, masyarakat berharap pemerintah patuh pada keputusan MA Nomor 7 P/HUM/2020, yang diputuskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung tanggal 27 Februari 2020.
Keputusan itu mengharuskan pemerintah kembali kepada besaran iuran sesuai dengan Perpres Nomor 82/2018, bagi peserta PBPU dan BP, Kelas I sebesar Rp 80 ribu, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan Kelas III sebesar Rp 25,500.
Sejak itu berduyun-duyun peserta mandiri (PBPU dan BP), kelas II dan I, pindah kelas bergabung di kelas III, bersama peserta fakir miskin dan tidak mampu yang mendapatkan PBI dari pemerintah.
Dalam Perpres 75/2020, untuk mereka yang dapat PBI, iurannya dibayarkan pemerintah dan dinaikkan menjadi Rp. 42 ribu/POPB. ( naik hampir dua kali lipat).
Saat ini, di kelas III, bergabung peserta fakir miskin dan tidak mampu yang tidak mengiur ( peserta PBI), dengan peserta mandiri baik PBPU dan BP, yang asalnya memang mengambil kelas III, dengan mereka yang “berduit” tetapi pindah ke kelas II dan I.
Dalam pikiran mereka itu ( peserta mandiri) nanti gampang, jika sakit dan harus dilakukan rawat inap, minta pindah kelas lebih tinggi, selisihnya mereka bayar langsung ke Rumah Sakit, atau melalui COB dengan Health Insurance, yang mereka punya.
Kondisi itu, memang ada problem, yaitu target menyasar mereka yang selama ini mandiri dan mampu membayar di kelas II dan I ( Rp. 51 ribu dan Rp. 80 ribu), karena sesuai dengan Perppres 75/2019, naik menjadi Rp. 110 ribu dan Rp.160 ribu/POPB, mereka berkelit dengan pindah ke kelas III.
jumlahnya sangat banyak, saat ini boleh jadi lebih dari 1 juta peserta. Karena disparitas iuran kelas III sangat lebar ( dari Rp. 160 ribu ke Rp. 42 ribu; dan dari Rp. 110 ribu ke Rp. 42 ribu).
Dengan demikian jumlah peserta mandiri yang memilih kelas I dan II semakin menyusut, sehingga tidak signikan mengungkit tambahan kocek dana jaminan sosial BPJS Kesehatan.
Berjalannya iuran sesuai dengan Perpres 75/2020, yang sudah di kolek BPJS Kesehatan, tidak lama hanya 3 bulan, yaitu Januari, Februari dan Maret 2020. BPJS Kesehatan belum dapat menerapkan keputusan MA 7 P/HUM/2020, karena belum ada Perpres yang baru untuk merubah Perpres 75/2019.
Kemudian, terbitlah Perpres 64/2020, sebagai perubahan kedua dari Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, karena adanya keputusan MA No 7 tersebut.
Perpres 64/2020 itu, sepanjang yang saya ketahui, inilah Perppres yang seni ilmu silatnya sangat tinggi. Betapa tidak, Perpres tersebut membangun emosi masyarakat menjadi tidak karuan. Ada yang marah, ada yang jengkel, ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan, ada yang mengatakan tidak fair, ada yang bilang fair. Pembuat draft Perpres ini, “maqomnya” sudah kelas makrifat .
Betapa tidak. Kita simak isi Perpres tersebut, dalam mengatur besaran iuran. Karena sampai dengan bulan Maret 2020, iuran sudah dibayar sesuai dengan Perpres 75/2019, bahkan untuk PBI sudah dilaksanakan mulai Agustus 2019, pemerintah tidak ingin BPJS kesehatan babak belur mengembalikan uang sebagai akibat keputusan MA No.7/2020. Jadi hal ini mengamankan cash flow BPJS Kesehatan.
Selanjutnya dalam Perpres 64/2020 itu, untuk April, Mei dan Juni 2020, pemerintah “seolah-olah’ patuh pada Keputusan MA. Iuran dikembalikan sesuai Perpres 82/2018 untuk PBPU dan BP, yaitu kelas III, Rp.25.500/POPB, kelas II, Rp. 51 ribu /POPB dan kelas I Rp. 80 ribu/POPB. Tapi tidak boleh lama-lama, BPJS kesehatan akan defisit lagi. Cukup 3 bulan.
Kalau MA ribut. Pemerintah sudah punya jawaban bahwa keputusan sudah dipatuhi. Kenapa hanya 3 bulan. Tentu pemerintah punya alasan yang kuat dalam suasana covid-19 ini, kondisi ekonomi sedang terjun bebas, sedang tidak mampu menambal lagi defisit DJS BPJS Kesehatan. Biarlah mereka yang mampu / mandiri yang selama ini menikmati JKN dengan mengambil iuran kelas II dan I, iurannya di naikkan, sesuai Perpres 64/2020, mulai Juli 2020.
Sehingga formula iurannya menjadi menarik, dan bervariatif. Iuran Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan (POPB), lebih rendah Rp 10 ribu dari Perpres 75/2019, dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan /POPB, berkurang Rp. 10 ribu dari Perpres 75/2019, dibayar oleh Peserta PBPU dan Peserta BP atau pihak lain atas nama Peserta.
Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, tahun 2021 menjadi Rp 35 ribu. Perpres menjelaskan ketentuan besaran iuran di atas mulai berlaku pada 1 Juli 2020.
Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh Peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan yang diuraikan diatas, , BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran Iuran dengan pembayaran luran bulan berikutnya, sesuai bunyi pasal 34 ayat 9.
Harapan peserta JKN
Pemerintah menyadari bahwa data fakir miskin dan orang tidak mampu, tingkat akurasinya masih belum 100 persen. Masih banyak diketemukannya exclusion dan inclusion error. DTKS sebagai basis ntuk menetapkan fakir miskin dan tidak mampu dapat PBI, masih memerlukan verifikasi dan validasi data yang terus menerus setiap 3 bulan.
Verifikasi dan validasi inilah yang masih belum merata dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukti nyata masih lemahnya data dimaksud, tidak bisa terbantahkan saat sedang diberikan bantuan sosial sebagai social safety net atas kebijakan PSBB, terjadinya salah sasaran. Ada yang tidak berhak dapat bansos, dan yang seharusnya dapat, belum sampai bansos dimaksud.
Dengan kondisi eksisting itu, banyak masyarakat yang sebenarnya masuk katagori miskin, tetapi karena tidak dapat PBI, dan butuh menjadi peserta JKN, rela dengan membayar sendiri, di kelas III.
Inilah ( mungkin) dasar pertimbangan pemerintah mensubsidi kelas III mandiri, sebesar Rp, 16.500/POPB, mulai Juli 2020, dan tahun 2021 subsidinya dikurang menjadi Rp.7.000/POPB. Walaupun UU SJSN menegaskan bahwa bantuan iuran ( bukan subsidi), full cover hanya diberikan kepada mereka yang masuk kategori fakir miskin dan tidak mampu, dengan ketetapan melalui Peraturan Menteri Sosial.
Karena dalam Perpres 75/2019, iuran PBI besarya Rp. 42 ribu /POPB di kelas III, tidak mungkin peserta mandiri kelas III, iurannya lebih kecil. Minimal disamakan. Selisih itulah yang disubsidi oleh Pemerintah. Pemerintah menyadari hal tersebut tidak sesuai dengan UU SJSN, sehingga subsidi perlahan di kurangi, dan diperhitungkan tahun 2022 subsidi iuran tersebut akan hilang, bersamaan dengan ditetapkannya standar pelayanan rawat inap sesuai UU, hanya single class yaitu kelas standar.
Bagaimana formula iuran untuk kelas standar, tentu akan dihitung cermat oleh DJSN, sebagai lembaga independen yang ditugaskan negara untuk menghitung besarnya iuran. Terkait hal ini, tentu kita dapat memahami kebijakan pemerintah tersebut.
Mungkin untuk masyarakat peserta mandiri kelas III sampai dengan akhir tahun ini tidak ada masalah dengan besaran iuran karena adanya subsidi pemerinah. Riak-riak protes tentu ada dan akan berkurang dengan sendirinya jika mutu pelayanan JKN di faskes semakin baik. Riak protes semakin kencang, jika mutu pelayanana JKN sebaliknya.
Bagaimana dengan peserta mandiri kelas I dan II?. Pengamatan saya, jumlahnya semakin menurun dengan kenaikan tarif iuran yang ekstrim. Artinya total besaran iuran dari kluster ini, tidak berkontribusi besar terhadap total penerimaan DJS (Dana Jaminan Sosial), yang dihimpun BPJS Kesehatan.
Bisa jadi, maksud pemerintah menaikkan iuran hampir dua kali lipat dari sebelumnya ( kelas I Rp. 150 ribu dan kelas II Rp. 100 ribu/POPB), untuk membangun semangat gotong royong sesuai dengan salah satu dari 9 prinsip SJSN, bahkan yang benar-benar over liquid dananya, tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan JKN, dan menggunakan private insurance, demi untuk memberikan peluang pelayanan JKN kepada mereka yang berada di kelas III.
Tetapi sepanjang kita amati di berbagai media, protes masyarakat, dan lembaga sosial masyarakat, muncul dari kluster mandiri kelas II dan kelas I, karena boleh jadi, mereka mengambil kelas II dan I untuk kenyamanan layanan rawat inap, tetapi punya uang tidak over liquid, ditambah lagi dengan wabah covit-19, yang berdampak terhadap penurunan pendapatan mereka.
Alasan yang mereka munculkan cukup kuat. Pemerintah tidak patuh atas keputusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020.
Ada “pembangkangan” atau “perlawanan” eksekutif terhadap yudikatif. Kondisi tersebut, berpeluang untuk dilakukan Judicial Review lagi ke MA, oleh kelompok pemohon yang sama, atau berbeda. Akhirnya kerja pemerintah berputar bolak balik, yang akan menghabiskan banyak energi.
Solusi
Kalau begitu bagaimana solusinya?. Pemerintah harus menunjuk lembaga independen yang di dalamnya ada unsur pekerja, pemberi kerja, tokoh/ahli jaminan sosial, dan pemerintah (kementerian terkait), yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Dewan ini dibentuk berdasarkan UU SJSN, dan anggotanya diangkat oleh Presiden, atas usulan Pansel yang ditunjuk khusus melakukan seleksi. Diharapkan cukup kredibel.
DJSN melakukan advokasi publik, melalui berbagai segmen masyarakat yang terkena langsung kebijakan, maupun tidak langsung, serta dengan media berita ( cetak dan elektronik). Jelaskan latar belakang keluarnya Perpres, dan kondisi lingkungan internal dan eksternal pemerintah saat ini, secara jujur, transparan, di dukung data yang akurat. Keterbukaan informasi ini menjadi syarat mutlak untuk tidak terjadinya bolak-balik eksekutif dan yudikatif.
DJSN harus dapat meyakinkan masyarakat, bahwa kedepan dengan struktur biaya JKN yang sudah sesuai dengan hitungan ke-ekonomian, maka tarif Ina CBGs sudah dapat disesuaikan, dan mutu pelayanan JKN di faskes dapat lebih baik. Utang piutang dengan RS dapat diselesaikan. Dan pihak RS mendapatkan kepastian klaim dapat dibayarkan tepat waktu.
Hindari kementerian memberikan keterangan masing-masing. Karena terkadang berbeda dan sering membingungkan masyarakat. Jika sudah kementerian yang komentar, ujungnya yang muncul adalah ego sektoral.
Peran penting DJSN itu sudah digaris bawahi dalam pertimbangan hukum MA dalam Keputusan No. 7 P/HUM/2020, dan ditegaskan dalam Perpres 64/2020, atas wewenang DJSN mengajukan hitungan besara iuran JKN.
DJSN segeralah bergerak. Dalam suasana PSBB gunakan media on line. Jika memerlukan bantuan tenaga, para pensiunan anggota DJSN dapat dipanggil untuk membantu tugas DJSN. Bravo DJSN.