
SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, lengang. Hanya ada beberapa orang lalu lalang. Sebagian orang mendorong koper bawaan, sebagian lainnya menenteng tas. Tapi nyaris semua orang mengenakan masker.
Petugas bandara memeriksa calon penumpang. Mulai dari pengecekan suhu tubuh di pintu masuk hingga pemeriksaan tiket dan barang bawaan.
Yang berbeda, ada plester bertanda silang pada satu kursi di deretan bangku tunggu. Maksudnya, untuk memberikan jeda, menerapkan kebijakan pembatasan jaga jarak agar orang tak saling berimpit. Para calon penumpang pun tertib mengikuti penanda, mereka duduk berjarak, Andini satu di antaranya.
Dilansir di laman CNN, Hari itu Selasa, 31 Maret 2020. Andini menunggu penerbangan yang akan membawanya pulang ke Yogyakarta. Bertolak dari episentrum virus corona, Jakarta. Ia sengaja memilih penerbangan pagi untuk menghindari lebih rapatnya interaksi atau kontak dengan banyak orang.
Ini kali, mudik baginya bukan rutinitas pulang kampung yang biasa. Andini memang selalu mudik setiap kali lebaran tiba. Tapi perkaranya, jika biasanya momen pulang kampung selalu disambut suka-cita berkumpul dengan keluarga, kini tak begitu. Keputusan pulang kampung, didahului dengan kegamangan dan was-was.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020, perusahaan tempat Andini langsung membahas perubahan mekanisme kerja.
Perempuan yang sudah empat tahun bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta ini pun menjalani kerja dari rumah atau work from home.
Pembatasan jarak fisik dan pergerakan orang, dipercaya mampu menekan laju penyebaran virus yang telah menginfeksi lebih 1,4 juta orang di seluruh dunia tersebut.
Dari kamar indekos seluas 4×4 meter persegi ia tetap melakoni tugas harian dari kantor. Sepekan berlalu, semua masih terasa baik-baik saja
“Seluruh kegiatan saya dilakukan di kamar indekos. Harus diakui, rutinitas bangun pagi yang kadang buru-buru memang menjadi santai ketika WFH. Tak perlu khawatir berdesakan di KRL seperti pagi biasanya menuju lokasi kerja,” cerita Andini kepada CNNIndonesia.com sembari mengingat.
Kebutuhan perut juga bukan perkara besar. Rasa lapar selama karantina mandiri ini segera terselesaikan dengan memesan makanan melalui aplikasi ojek online.
“Memesan makanan lewat aplikasi rasanya lebih praktis mengingat kemampuan memasak saya minim,” kata dia beralasan.
Tapi rupanya kelonggaran dan waktu luang hanya bisa ia nikmati sementara. Hanya sepekan pertama. Pekan kedua dan seterusnya rasanya sudah tak sama.
“Jenuh mulai melanda. Saya mulai gelisah menjalani aktivitas di kos. Bangun, bekerja, menonton, sampai kembali tidur hanya dihabiskan di kamar kos. Pertemuan dengan orang juga sangat terbatas,” ia menuturkan.
“Belum lagi kekhawatiran jumlah kasus Covid-19 yang terus bertambah di Jakarta,” sambung Andini.
Satu demi satu kasus positif Covid-19 dikonformasi. Mulai dari dua hingga kurang dari sepuluh kasus, hingga kini tembus tiga ribu kasus. Jumlah kasus yang meningkat kian harinya membuat Andini ikut cemas.
Berada di perantauan menjadikan ketidakpastian situasi tersebut jadi terasa kian runyam. Pulang ke kampung halaman, adalah yang terbesit di kepala.
“Awalnya saya sempat ragu dan memilih untuk tetap bertahan di Jakarta. Beberapa kerabat juga menyarankan agar tetap tinggal. Apalagi pemerintah sudah wanti-wanti warga agar tak mudik.” ungkap dia.
“Meski belakangan, larangan dari pemerintah Indonesia itu juga tak jelas karena masih pula membolehkan warga untuk mudik,” ia melanjutkan ucapan.
Kekhawatiran terjebak di Jakarta membayangi. Gambaran akan terkungkung di kamar indekos mulai muncul. Ini baru sepekan, bagaimana jika nanti sampai berbulan-bulan, pikir Andini.
Tumpang tindih was-was dan pertimbangan alternatif ia pikirkan berhari-hari. Bertanya ke sana-sini. Daripada nantinya kepalang ‘terperangkap’, ia pun nekad memilih pulang. Pengujung Maret 2020 perjalanan pesawat sekitar satu jam memboyongnya dari Jakarta ke Yogyakarta.
“Hanya dari Halim, kan? Tidak transit di Bandara lain?” suara petugas di Bandara Adi Sucipto membuyarkan bayangan Andini. Ia lekas menggeleng sebagai jawaban.
Suasana bandara hari itu tampak sepi. Seolah kedatangan hanya dari penumpang-penumpang di pesawat yang ditumpangi Andini.
Pengecekan suhu tubuh oleh petugas di pintu kedatangan kembali dilaluinya begitu tiba di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Petugas juga memberikan selembar Health Alert Card (HAC) atau Kartu Kewaspadaan Kesehatan kepada Andini dan penumpang lain yang baru mendarat.
Kartu HAC warna kuning itu berisi kolom identitas dan sejumlah keluhan mengarah ke gejala Covid-19, yang harus diisi penumpang. Mulai dari batuk, pilek, sesak napas, dan keluhan lain dengan pilihan ‘ya’ atau ‘tidak’.
Andini mengisi seluruh kolom dengan jawaban, tidak. Ia merasa baik dan sehat saja. Langkahnya lantas menuju arah keluar.
Di pintu kedatangan, biasanya orang tuanya telah berdiri menanti. Kali ini tidak begitu. Ia baru menjumpai mereka di tempat parkir bandara.
Dari kejauhan, tampak lambaian tangan yang sudah Andini kenal. Kian dekat, kerut kelopak mata akibat sunggingan samar terlihat, senyum kedua orang tuanya tak tampak jelas karena masker menutup sebagian wajah.
Tak ada pelukan, tidak pula jabat tangan seperti biasanya. Imbauan menjaga jarak dan membatasi kontak mengingatkan satu sama lain untuk menahan ekspresi kangen.
Sesampainya di rumah pun, Andini masih harus membendung itu. Sesuai anjuran pemerintah, siapa pun yang kembali dari luar kota harus menjalani karantina mandiri selama 14 hari.
Andini menempati kamar di lantai dua, terpisah dengan keluarga di rumah. Ia juga untuk sementara tak akan keluar rumah–sekalipun boleh, hanya sebatas di teras.
Interaksi dengan Andini juga dibatasi dulu, saat makan atau sekadar berbincang wajib dengan jarak aman. Kedatangannya juga dilaporkan ke petugas RT, RW hingga kelurahan setempat. Ia harus mengisi formulir yang memuat identitas, nomor yang bisa dihubungi, juga keluhan yang dirasakan.
Aktivitasnya bakal dipantau selama dua pekan-yang merupakan waktu terpanjang inkubasi virus corona.
“Namun karena tak pernah keluar rumah, saya tak terlalu paham bagaimana cara mereka mengawasi warganya yang datang. Tampaknya bisa saja jika saya keluyuran keluar rumah.
Saya pun menjalani rutinitas seperti biasa di rumah, mulai dari bekerja, makan, menonton sebagai selingan, hingga tidur,” ungkap Andini.
Ia tak tahu pasti sampai kapan bertahan di kampung halaman. Andini hanya berharap, wabah segera berakhir dan segalanya kembali normal (sumbercnnjakarta)