SYAKHRUDDIN.COM, JAKARTA – Perburuan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto diduga terlibat suap Komisioner KPU menemui jalan buntu. Ia bersembunyi di Gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) untuk menghindari penangkapan.
Keributan pecah tak jauh dari selasar Masjid Darul Ilmi di Kompleks PTIK, Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Malam itu, Rabu (8/1/2020), lima penyidik KPK yang hendak menunaikan salat Isya, tiba-tiba diadang sejumlah polisi berpakaian preman.
“Sempat ada perdebatan,” kata seseorang yang menyaksikan peristiwa itu.
Para polisi menggeledah kelima petugas KPK tersebut. Mereka digiring ke salah satu ruangan di PTIK. Tak cuma diinterogasi, kelimanya juga diminta menjalani tes urine.
Di antara para polisi berpakaian preman di PTIK itu, terdapat Ajun Komisaris Besar Polisi Hendy Febrianto Kurniawan. Ia pernah menjadi penyidik di KPK sebelum mengundurkan diri pada 2012.
Para penahan beralasan, kawasan PTIK sedang disterilisasi untuk menyambut kegiatan jalan sehat bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin keesokan harinya.
Sadar gelagat di lapangan memburuk, penyidik KPK lain yang berada di Kompleks PTIK memutuskan meninggalkan lokasi.
Sebelum insiden di Masjid Darul Ilmi, dua mobil berisi penyidik KPK merapat ke PTIK. Mereka membuntuti kendaraan yang membawa Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dari Menara Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat.
Sejak siang, KPK memantau keberadaan Hasto di Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Orang nomor dua di partai banteng itu lepas dari pengawasan dalam perjalanan ke Menara Kompas.
Tim KPK sempat menduga buruan mereka berada di Gedung DPR RI yang berseberangan dengan Menara Kompas. Penyidik KPK baru kembali mengikutinya setelah mobil Hasto bergerak ke arah selatan Jakarta.
Di Jalan Tirtayasa, kendaraan itu ternyata berbelok masuk ke Kompleks PTIK. Sejak itu, tim KPK kehilangan jejak Hasto.
Hasto masuk radar KPK, karena diduga terlibat kasus suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Pada hari yang sama, tim KPK disebar di Jakarta; Tangerang, Banten; Depok, Jawa Barat; dan Banyumas, Jawa Tengah.
Dari operasi tersebut, delapan orang ditangkap di empat lokasi berbeda. Dua di antaranya Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri. Mereka disebut-sebut sebagai orang dekat Hasto, sedangkan Hasto diduga berperan sebagai sumber dana suap.
Kasus bermula dari keinginan PDIP mengganti anggota DPR dari fraksinya, Riezky Aprilia, dengan Harun Masiku. Suap kepada Wahyu dilakukan untuk memuluskan proses itu.
Sebab, permohonan pergantian yang diajukan PDIP dua kali, ditolak rapat pleno Komisioner KPU pada 31 Agustus 2019 dan 7 Januari 2020.
Selain tim yang memantau Hasto, dua mobil lain berisi penyidik KPK juga meluncur ke PTIK pada Rabu malam itu. Mereka membuntuti target lain.
Harun Masiku, yang kemudian ditetapkan sebagai salah satu tersangka pemberi suap oleh KPK.
Harun menuju PTIK dari bilangan Cikini, Jakarta Pusat, bersama Nurhasan. Nurhasan ialah petugas keamanan di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu merupakan salah satu kantor Hasto. Lokasinya hanya beberapa ratus meter dari Kantor DPP PDIP.
Nurhasan sedang kebagian tugas jaga malam ketika tiba-tiba mendapat perintah untuk menjemput Harun. Jadi, ia langsung menghubungi Harun, lalu bermotor menuju titik penjemputan di Cikini.
Saat sudah bertemu, Nurhasan meminta Harun merendam telepon selulernya ke dalam air. Keduanya kemudian berboncengan ke PTIK. Di sana, Hasto sudah menunggu.
Tim KPK yang mengawasi Harun juga kehilangan jejak sasarannya.
Operasi penangkapan diduga bocor. Lima penyidik KPK yang ditahan polisi merupakan bagian dari tim yang mengejar Harun.
Petugas KPK yang berhasil menghindari sweeping polisi di Masjid Darul Ilmi lalu melaporkan penangkapan rekan-rekannya ke atasan. Tapi bantuan yang diharapkan tak kunjung tiba.
Direktur Penindakan KPK, RZ Panca Putra Simanjuntak, baru datang ke PTIK keesokan harinya menjelang subuh, Kamis (9/1/2020). Tak lama kemudian, penyidik KPK yang ditahan dilepaskan.
“Ada kesalahpahaman di sana. Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu (penyidik KPK) dikeluarkan,” tutur Ali Fikri, Juru Bicara KPK Bagian Penindakan, mengenai penahanan penyidik KPK di PTIK.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Argo Yuwono, menganggap pemeriksaan penyidik KPK sebagai hal lumrah. Menurutnya, PTIK merupakan bagian dari markas Polri.
“Namanya SOP (Standard Operational Procedure) di kepolisian wajarlah ada orang yang masuk tidak dikenal, kita lakukan pemeriksaan,” ujarnya.
Nurhasan membantah membawa Harun Masiku ke PTIK. Ia sempat terdiam beberapa detik, sebelum menjawab pertanyaan perihal keberadaannya pada Rabu malam.
Kamis siang setelah insiden di PTIK, tiga mobil penyidik KPK bergerak ke Kantor DPP PDIP. Mereka hendak menyegel ruang kerja Hasto di sana.
Didampingi sejumlah anggota Brimob, para penyidik KPK tertahan di pintu gerbang. Petugas keamanan DPP PDIP mengadang langkah mereka. Kepala Rumah Tangga DPP PDIP tidak mengizinkan mereka masuk.
Tim KPK lantas mundur setelah dialog tak membuahkan hasil. Penyegelan ruangan Hasto urung terlaksana.
Ketua DPP PDIP Djarot, Saiful Hidayat, menampik ada upaya menghalangi petugas KPK. Ia mengatakan, kedatangan penyidik KPK tidak sesuai prosedur lantaran tidak membawa surat perintah.
“Informasi yang saya terima bahwa yang bersangkutan tidak ada bukti-bukti yang kuat. Surat dan sebagainya,” kata Djarot.
Namun ucapan itu dibantah Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar. “Mereka (penyidik KPK) dibekali surat tugas dalam penyelidikan, dan lengkap,” tegasnya.
Adapun Hasto seolah mendadak lenyap sejak masuk PTIK. Ia baru muncul ke publik di JIExpo, Kemayoran, Kamis sore.
Padahal ia dijadwalkan tiba dari siang untuk memimpin geladi resik Rakernas PDIP. Hasto beralasan, kedatangannya tertunda karena sakit perut.
Beberapa jam kemudian, KPK mengumumkan empat orang tersangka dalam kasus suap Komisioner KPU. Keempatnya ada di antara delapan orang yang sebelumnya ditangkap.
Saeful Bahri yang diduga orang dekat Hasto, ikut menjadi tersangka. Saat berjalan ke mobil tahanan KPK usai pemeriksaan, Saeful diserbu pertanyaan oleh wartawan soal dugaan keterlibatan Hasto.
Saeful diduga menerima uang Rp 400 juta yang digunakan untuk menyuap Wahyu Setiawan melalui sopir Hasto pada 16 Desember 2019.
Informasi yang diperoleh menyebut, uang itu berasal dari kantong pribadi Hasto.
Sehari sesudahnya, Saeful mengkonversi Rp 200 juta menjadi SGD 20 ribu. Duit itu diberikan kepada tersangka lain, Agustiani Tio Firdelina. Ia kader PDIP yang menjadi penghubung kepada Wahyu.
Sorenya, Agustiani bertemu Wahyu di Pejaten Village, Jakarta Selatan. Dari SGD 20 ribu yang disiapkan, hanya SGD 15 ribu yang berpindah ke tangan Wahyu. Transaksi itu rupanya suap tahap pertama.
KPK baru menciduk sang Komisioner KPU setelah mendapat informasi soal rencana serah terima uang tahap kedua, Rabu (8/1/2020).
Dalam konferensi pers pengungkapan kasus tersebut, Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengungkapkan indikasi keterlibatan oknum di DPP PDIP sebagai sumber uang suap. Namun nama Hasto tak disinggung.
Dalam sesi tanya jawab, Lili yang mantan komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban itu menyatakan, terbuka kemungkinan KPK memeriksa Hasto.
“Tidak saja nama Hasto, tapi pihak yang mungkin berhubungan dengan pengembangan perkara ini, nanti di penyidikan pasti ada panggilan-panggilan tertentu,” ujarnya.
KPK sendiri terbelah dalam menilai keterlibatan Hasto dalam rangkain suap. Komisioner KPK Nawawi Pomolango kabarnya termasuk yang tak setuju Hasto menjadi tersangka.
Ia disebut-sebut menganggap bukti-bukti keterlibatan Hasto masih kabur.
Namun Nawawi menyangkal kabar itu. “Ini benar-benar sebuah fitnah,” katanya
Sementara Hasto membantah keterlibatannya dalam suap Wahyu Setiawan. Ia juga menyanggah bersembunyi di PTIK. “Tidak,” jawabnya.
Hasto Kristiyanto pun menyatakan tidak tahu keberadaan Harun Masiku yang hingga kini belum tertangkap KPK.
“Kalau Harun Ar-Rasyid di dalam cerita, kita sering mendengar. Tetapi kalau Harun ini (Harun Masiku), saya enggak tahu,” kata Hasto (syakhruddin)