SYAKHRUDDIN.COM,JAKARTA – Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi buka suara terkait munculnya Maxim, ojek online dari Rusia.
Operator ojek online itu menjadi pesaing baru Gojek
dan Grab di pasar transportasi online tanah air.
Budi Karya sendiri tidak mempermasalahkan
kemunculan Maxim. Menurutnya, semakin banyak persaingan semakin baik asalkan
semua operator ojek online bisa bersaing dengan sehat.
“Kalau menurut saya makin banyak operator
makin baik ya. Tapi kita juga tidak mau operator itu saling bunuh dengan satu
tarif yang sesuka hati, karena itu justru akan bumerang,” kata Budi Karya
di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, Minggu (22/12/2019).
Namun begitu, Budi menjelaskan pihaknya akan
membatasi jumlah pengemudi.
“Ya tentu kita akan batasi, yang penting
nanti ada suatu equilibrium tertentu jumlah yang beredar itu nanti
dibatasi,” ujar dia.
Perlu diketahui, kemunculan Maxim mendapat
protes dari kompetitornya. Pengemudi Gojek dan Grab pernah mendatangi kantor
Dinas Perhubungan (Dishub) Surakarta untuk meminta agar ojol asal Rusia itu
diblok.
Seperti
diketahui , pada akhir bulan lalu, Kantor
Maxim di Balikpapan, Kalimantan Timur, diserbu puluhan pengemudi ojek online
yang tergabung dalam Persatuan Driver Online Indonesia (PDOI) Kaltim.
Media JawaPos.com mengabarkan, massa bahkan sempat menyegel kantor penyedia solusi transportasi asal Rusia tersebut.
Unjuk rasa tersebut terjadi lantaran tarif Maxim jauh lebih murah sehingga dianggap memengaruhi pendapatan mitra transportasi online lainnya, seperti Gojek dan Grab.
Di tengah keributan tersebut, anehnya, Kementerian Perhubungan RI (Kemenhub) justru mengaku baru mengetahui soal keberadaan Maxim di Indonesia.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi bahkan mengaku baru mendengar soal Maxim setelah terjadi kericuhan di Kalimantan.
Beberapa kejadian ini tentu menyisakan tanda tanya. Apakah itu berarti operasi Maxim di Indonesia selama ini tak diketahui pemerintah, alias ilegal?
Bagaimana sebetulnya perhitungan tarif Maxim yang “meresahkan” kompetitornya, apa saja layanan yang ditawarkan, dan — yang lebih penting — sejak kapan perusahaan ini beroperasi di Indonesia?
Mengapa tarif ojek yang bermitra dengan Maxim lebih murah?
Kepada JawaPos.com, Faisal, Ketua PDOI Kaltim mengungkap tarif tranportasi yang ditentukan Maxim jauh lebih murah, sehingga berimbas pada pendapatan mitra transportasi online lainnya.
“Gojek dan Grab itu (tarif minimum per pesanan) Rp 9.000, sedangkan Maxim Rp 7.000. Tarif (Maxim) harus disamakan dengan dua aplikasi yang sudah ada, yaitu Gojek dan Grab, supaya tidak terjadi gesekan di lapangan,” ungkap Faisal sebagaimana yang dikutip Balikpapan, Jumat (2/8/2019).
“Kami memang lebih murah daripada kompetitor lain, tetapi kami masih dalam kerangka regulasi,” kata Manajer Pengembangan Maxim, Imam Mutamad, yang dihubungi Russia Beyond untuk mengonfirmasi sejumlah hal terkait keberadaan perusahaan tersebut di Indonesia, “regulasinya mengatur batas bawah dan batas atas.”
“Ambil contoh di Balikapapan. Mereka protes karena tarif kami yang lebih rendah. Padahal, regulasi dari Kemenhub mengatur soal tarif per kilometer, bukan soal tarif minimum (per pesanan).
Jadi, dalam tarif minimum, Gojek, misalnya, menetapkan lebih banyak kilometer (0 – 9 km, Rp1.900/km). Karena itu, (tarif) mereka lebih mahal (daripada kami),” kata Mutamad menjelaskan.
Ia meyakini, ketidakpahaman itulah yang membuat pengojek kompetitor komplain. “Begini logikanya: misalnya kompetitor menetapkan Rp9.000 per 4 kilometer; kami tetapkan Rp5.000 per 2 kilometer.
Jadi per kilometernya masih sesuai regulasi, tetapi untuk pelanggan, kami berikan skema kilometer yang lebih pendek. Ini cuma soal strategi pemasaran.
Nah, sekarang pengedara ojek komplain dan mendesak supaya kami membuat tarif yang sama dengan kompetitor? Bagaimana mungkin? Ini kan pasar bebas!”
Maxim mengembangkan aplikasinya sendiri dan menciptakan sistem perangkat keras dan perangkat lunak yang memungkinkan mitra-mitranya terhubung ke layanan perusahaan, memproses jutaan pesanan setiap hari, memantau kinerja dan kualitas layanan, serta menganalisis dan mengoptimalkan bisnis mereka. Maxim pertama kali beroperasi di Indonesia pada 2018. Di luar Jakarta, layanan transportasi berbasis Maxim kini sudah tersebar di Pekanbaru, Batam, Bandar Lampung, Yogyakarta, Solo, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Bali. Sebagai perusahaan pencipta solusi teknologi, layanan transportasi yang bisa menggunakan sistem ini tentu bervariasi, tak hanya terbatas pada taksi atau ojek. “Mungkin di Medan atau Makasar, kami akan bekerja sama dengan bentor (becak motor). Itu memungkinkan,” ujar Mutamad. Sejak 2014, Maxim telah beroperasi di lebih dari 455 kota di 13 negara, termasuk di Rusia, Belarus, Kazakhstan, Georgia, Bulgaria, Tajikistan, Azerbaijan, Iran, Kirgizstan, Italia, Ukraina, Indonesia, dan Malaysia. |
Mutamad mengakui, semua mitra Maxim diberikan kewenangan untuk mengatur tarifnya sendiri. Meski begitu, tarif yang ditetapkan mitra-mitra Maxim harus mengacu pada aturan yang ada.
“Kami selalu berpedoman, aturan apa yang ada di tempat itu, itulah yang harus menjadi acuan, yang harus diikuti,” paparnya.
Selama setahun pertama beroperasi, Maxim sama sekali tidak mengambil komisi dari pengemudi. Artinya, uang yang diterima dari penumpang sepenuhnya untuk si pengemudi. Namun, itu bukan berarti Maxim selamanya akan menerapkan sistem seperti itu, tuturnya (berbagai sumber)
“Itu semacam promosi. Begitulah cara kami memenangkan pasar pengemudi dan penumpang. Sekarang, kami menetapkan sepuluh persen dari tiap transaksi untuk Maxim,” kata Mutamad.
Kepada Russia Beyond, Mutamad menekankan bahwa pihaknya melakukan semuanya sesuai regulasi. Ia bahkan mengaku sudah menjelaskan kepada pihak-pihak yang komplain, termasuk kepada masyarakat setempat mengenai kebijakan tarif perusahaannya. “Kami lebih murah karena sistem kilometer ini. Kalau mereka tidak suka, silakan datangi Kemenhub, dan minta mereka ubah regulasinya untuk semua pihak. Kami siap mengikuti, kami menghormati hukum Indonesia,” katanya menegaskan (berbagai sumber)