SYAKHRUDDIN.COM, AJAKARTA – Sebagian besar partai politik ingin pemilihan legislatif dan presiden tidak lagi digelar serentak seperti pada Pemilu 2019 lalu. Mayoritas parpol bakal merevisi UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu guna merealisasikan hal itu.
Sejauh ini, PDIP, PPP, PAN, Golkar, Gerindra, NasDem, dan Demokrat ingin pileg dan pilpres kembali dipisah seperti dulu. Tinggal PKS dan PKB yang belum menentukan sikap. Keinginan Golkar agar pileg dan pilpres dipisah, diutarakan melalui pernyataan politik yang dibacakan dalam Musyawarah Nasional X.
Pada poin ketiga, Golkar menilai proses demokrasi sudah berjalan dengan baik.
“Untuk
itu maka demokrasi di Indonesia harus terus didorong ke arah penguatan sistem
presidensial, penguatan partisipasi hak-hak politik rakyat melalui pemisahan
Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif, serta perlunya kajian secara mendalam
amandemen UUD 1945,” poin 3 pernyataan politik Golkar mengutip Antara,
Jumat (6/12/2019).
PPP menilai pileg dan pilpres perlu dipisah, karena kendala di lapangan menjadi sangat kompleks
ketika disatukan. Selain itu, panitia penyelenggara pun jadi mengemban tugas
berkali-kali lebih berat.
Diketahui, 440 panitia penyelenggara Pemilu 2019 meninggal dunia. Tidak sedikit
pula yang sakit akibat kelelahan, yakni sebanyak 3.788 orang. “Selain itu gaung pileg kalah dengan pilpres, sehingga kampanye yang dilakukan caleg tidak
maksimal,” tutur Wasekjen PPP Ahmad Baidowi.
Partai
NasDem dan Demokrat berpandangan serupa. Korban dari kalangan penyelenggara
pemilu dinilai tidak lepas dari pileg dan pilpres yang digelar serentak. Selain itu, pembelahan yang terjadi di masyarakat pada
Pemilu 2019 juga termasuk dampak akibat pileg dan pilpres dihelat serentak.
“Ini ibarat satu resepsi untuk dua perkawinan. Awalnya dipikir efisien dan menekan biaya faktanya ternyata tidak.
Satu jenis pemilu saja sudah buat panas, apalagi dua jenis pemilu digabung sekaligus,” tutur Ketua DPP Demokrat Jansen
Sitindaon.
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi PDIP Arif Wibowo mengatakan, pihaknya juga setuju jika nanti mayoritas fraksi
ingin memisahkan pileg dan pilpres melalui revisi UU Pemilu. Menurutnya, dua
kontestasi politik itu sebaiknya memang digelar terpisah.
Dahulu, pada 2017, Arif menyebut ada penghematan anggaran Rp150 triliun jika
pileg dan pilpres dihelat serentak. Akan tetapi, kini Arif menyebut ekspektasi
itu tak terlampaui. “Dari hasil evaluasi Pemilu
2019, ternyata pengurangan anggarannya
tidak signifikan,” kata Arif.
Menurutnya,
meski digelar serentak, pileg dan pilpres juga memakan waktu dan biaya.
Misalnya soal penghitungan suara berjenjang dari level TPS, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, hingga KPU pusat. Pula, serba manual.
“Kemudian, penyelenggaranya kan tambah besar. Pengawas Bawaslu juga ada
sampai di tingkat TPS,” tutur Arif. PDIP, lanjutnya, bakal mengusulkan agar pileg dan pilpres dipisah. Pilpres
lebih baik digelar serentak hanya dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Selang beberapa bulan kemudian, barulah pileg dilaksanakan “Setuju, pilpres bersamaan dengan DPD karena
sama-sama perorangan kan ya. Lalu dilanjut pileg,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Amanat Nasional Yandri Sutanto mendukung rekomendasi Partai Golkar, agar pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) digelar secara terpisah.
Namun
PAN mengusulkan Pilpres digelar bersamaan dengan pemilihan kepala
daerah (Pilkada). “Jadi kalau bisa dalam revisi [UU Pemilu]
nanti itu satu hari [pemilu] khusus legislatif. Jadi DPR RI, DPRD satu hari.
Lalu seluruh Pilkada dibarengin dengan Pilpres,” kata Yandri di Kantor DPP
PAN, Jalan Senopati, Jakarta Selatan pada Kamis (5/12/2019).
Wakil Ketua Umum PAN Totok Daryanto menuturkan salah satu
pertimbangan partainya mendukung Pilpres dan Pileg digelar
terpisah adalah mencegah korban jatuh dari pihak penyelenggara pemilu.
Pertimbangan itu merujuk pengalaman Pilpres 2019. Berdasarkan data KPU, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang.
“Kalau
Pilpres dan Pileg bareng sebenarnya tingkat kerawanannya tinggi sekali. Mau dari
sisi keamanan,” tutur Totok. Ia juga mengatakan penyelenggaraan pemilu legislatif dan eksekutif
secara serentak memunculkan bias. Masyarakat jadi lebih fokus pada Pilpres.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengusulkan agar
Revisi Undang-undang Pemilu memisahkan pelaksanaan Pilpres dan Pileg.
Usulan tersebut disampaikan Airlangga sebagai salah satu rekomendasi
dalam Laporan PertanggungJawaban (LPJ) di Munas Golkar. Alasan
Airlangga memisahkan Pilpres dan Pileg karena mempertimbangkan
kans kemenangan untuk partainya.
“Golkar perlu memperjuangkan perubahan UU Pemilu, memisahkan kembali
antara Pileg dan Pilpres serta penyempurnaan sistem pemilu yang membuka peluang
bagi kemenangan Partai Golkar di dalam Pemilu,” kata Airlangga di
Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Polisi Evaluasi Pilkada : PAN juga mengkritik langkah Mabes Polri menggelar evaluasi Pilkada.
Totok menyebut yang dilakukan Polri tidak tepat bila yang dievaluasi
adalah sistem pemilunya.
“Kalau [membahas] pengamanan ya enggak apa-apa dong, kan memang tugas
polisi. Tapi kalau diskusi [sistem] langsung enggak langsung, polisi yang
diskusikan. Rasanya kok tidak tepat,” ujar Totok.
Totok pun mempertanyakan acara evaluasi Pilkada yang dilakukan
tertutup. Mestinya, kata dia, diskusi yang melibatkan masyarakat luas dibahas
secara terbuka. Sikap PAN, lanjut Totok, tidak
setuju dengan usulan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa
Pilkada sebaiknya digelar secara tidak langsung.
“Kita masih konsisten dengan bentuk Pilkada seperti ini (langsung),”
tutur Totok. Pilkada secara langsung dianggap PAN solusi yang tepat
dalam memenuhi hak rakyat memilih pemimpinnya (bs/syakhruddin).