SYAKHRUDDIN.COM,JAKARTA- Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan, aturan Menteri Agama Fachrul Razi terkait pendaftaran majelis taklim penting untuk mencegah radikalisme.
Aturan pendaftaran majelis taklim ini tertuang dalam
Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 13 November
2019.
“Untuk data saya kira perlu agar jangan sampai ada majelis yang menjadi
sumber persoalan. Tahu-tahu mengembangkan radikalisme misalnya, kan jadi
masalah,” ujar Ma’ruf di Kempinski, Jakarta, melalui keterangan Setwapres,
Senin (2/12/2019).
Namun, menurut Ma’ruf, aturan menag itu bukan pendaftaran melainkan pendataan
majelis taklim.
Dengan pendataan, pemerintah akan
mengetahui ustaz, jemaat, maupun materi yang disampaikan dalam majelis taklim.
“Mungkin bukan terdaftar, tapi dilaporkan, didata supaya tahu ada majelis
taklim. Kan sekarang semua harus terdata, tamu aja harus didata,” katanya.
Menteri Agama Fachrul Razi, sebelumnya menerbitkan aturan baru yang mengharuskan
majelis taklim mendaftarkan diri, baik pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta
materi ajar.
Aturan baru itu tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 13 November 2019.
Ditempat terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berharap pemerintah tidak terlalu jauh mengatur kegiatan keagamaan seperti majelis taklim melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim.
“Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu, tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim,” kata Haedar Nashir melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Minggu.
Menurut Haedar, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti Majelis Taklim justru
dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk
menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
“Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling
penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw) dalam
beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama,”
kata dia.
Kalaupun ada aktivitas yang menyimpang, kata Haedar, dapat dilakukan pendekatan
hukum dan ketertiban sosial yang berlaku, tidak perlu dengan aturan yang
terlalu jauh dan bersifat generalisasi.
Ia khawatir, PMA Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis
taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam
hal ini KUA setempat,
sehingga menjadi instrumen untuk
kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi
pemerintah tersebut.
“Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan
dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi
pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan,” kata Haedar.
Dalam hal usaha mencegah radikalisme atau ekstrimisme sebenarnya ketentuan
perundangan yang ada sudah lebih dari cukup, jangan terlalu jauh mengatur
aktivitas umat beragama.
“Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang
mengarah pada ekstrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh
siapapun.
Namun semuanya perlu dasar pemikiran,
rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif,
serta tidak parsial dan diskriminatif,” kata Haedar.
Haedar juga berpesan agar para pejabat publik jangan mudah mengeluarkan
pernyataan yang mengarah pada stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi.
Karenanya perlu dilakukan dialog dengan
semua komponen bangsa demi kepentingan ke depan dalam kehidupan keagamaan dan
kebangsaan yang lebih baik.
Semuanya, kata dia, harus merujuk pada nilai dasar Pancasila serta berbasis
nilai utama agama dan kebudayaan luhur bangsa yang membawa kedamaian,
ketertiban, kemaslahatan, dan kemajuan hidup bersama.
“Majelis Taklim maupun aktivitas keagamaan lainnya tentu harus tetap dalam
spirit keislaman yang mendamaikan, mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan
kehidupan sehingga menjadi wahana dakwah yang rahmatan lilalamin,” kata
Haedar.
Menteri Agama Fachrul Razi menerbitkan aturan baru yang mengharuskan majelis taklim mendaftarkan diri, baik pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta materi ajar.
Aturan baru itu tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 yang diterbitkan pada 13 November 2019.
Mantan Wakil Panglima TNI itu menyatakan aturan tersebut bukan kewajiban, meski pada pasal 6 ayat 1 PMA 29/2019 disebutkan majelis hakim harus terdaftar.
“Sebenarnya kita tidak mewajibkan,” kata Fachrul usai memberikan sambutan di acara Forum Alumni Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Sabtu (30/11/2019).
Dia menyebut aturan baru tersebut bertujuan agar Kemenag memiliki daftar jumlah majelis taklim, sehingga lebih mudah mengatur penyaluran dana.
“Selama ini kan majelis taklim ada yang minta bantuan. Ada even besar minta bantuan. Gimana kita mau bantu kalau data majelis taklim (tidak tahu) dari mana?” tuturnya (berbagai sumber)