Menjelang peringatan 1 Desember, polisi menangkap banyak orang-orang Papua yang kedapatan membawa bendera bintang kejora, simbol pergerakan Papua merdeka.
Pada 27/11/2019, Kepolisian Resor Manokwari, Barat, menangkap delapan warga sipil ditangkap.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manokwari Ajun Komisaris Musa Jedi Permana mengatakan, mereka mengaku diajak seseorang yang diduga aktor utama, melalui selebaran yang dibagikan.
“Inisial aktornya AN. Kami sedang mencarinya,” kata Musa pada Rabu, 27 November 2019.
Sebelumnya, polisi juga menangkap tersangka enam pembawa bendera bintang kejora. Charles Kossay, Dano Tabuni, Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua Surya Anta, Isay Wenda, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere
Mereka beraksi di depan Istana Negara pada 28 Agustus lalu sehubungan dengan insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Polda Metro Jaya menduga aksi di depan Istana Negara itu disertai pengibaran bendera bintang kejora. Dua sampai tiga hari setelah aksi, keenam aktivis ditangkap dan dijerat dengan tuduhan makar.
Tuduhan serupa juga dialamatkan kepada tujuh warga Papua yang melibatkan Ketua Komite Nasional Papua Barat Agus Kossay.
Kepolisian Daerah Papua menangkapi tujuh aktivis pada awal September 2019. Agus bersama 6 orang lainnya, yaitu Wakil Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni,
Ketua BEM Uncen Fery Kombo, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobai, Ketua KNPB Wilayah Mimika Steven Itlay, Hengki Hilapok, dan Irwanus Uropmabin diduga pelaku di balik kerusuhan di Kota Jayapura, pada 29/9/2019.
Penangkapan itu, menuai pro dan kontra berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, menilai pemerintah terlalu mengobral cap separatis terhadap warga Papua yang merayakan momen 1 Desember.
Faktanya, kata Warinussy, Papua memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Pengakuan bahkan tersirat dalam amanat konsideran huruf e Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Menurut Warinussy, 1 Desember semestinya dijadikan sebagai tonggak melakukan upaya konstruktif untuk meluruskan sejarah Papua oleh rakyat Papua sendiri dan negara, demi perdamaian.
“Segenap gerakan sosial politik rakyat Papua dengan mengusung aspirasi berbeda dengan negara ini semestinya direspons secara soft (lunak) dan diwadahi melalui dialog damai,” kata Warinussy.
Tokoh Papua Muda Inspiratif, Neil Aiwoy mengatakan bahwa sebagian masyarakat di Papua memang memiliki perspektif berbeda dalam memaknai 1 Desember. Namun, Neil memilih untuk tidak berada di kelompok mana pun.
Sebab, ia menilai yang dibutuhkan orang Papua bukan perayaan 1 Desember. “Orang Papua tidak butuh ini. Orang Papua butuh, ada sesuatu kita bikin, ada karya nyata yang kita kerjakan,” kata Neil.
LSM Masyarakat Papua Cinta NKRI, mengajak masyarakat menolak perayaan 1 Desember yang kerap dikaitkan sebagai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (HUT OPM).
Bentuk penolakan dilakukan dengan menggelar aksi deklarasi damai di depan Gedung Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, pada Jumat, 29/11/2019 (bs/syakhruddin)