Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan sejumlah catatan untuk Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
“Persoalan pembangunan kesehatan ini belum terpenuhi selama 74 tahun Indonesia merdeka,” ujar Ketua IDI, Daeng M Faqih, dalam keterangan resmi, Rabu (30/10/2019).
Pertama adalah soal sarana dan prasarana kesehatan di kawasan pelosok yang belum terpenuhi. Keberadaan kartu jaminan kesehatan (JKN), kata Daeng, seolah tak berfungsi sepenuhnya akibat minimnya sarana kesehatan.
Kondisi
minimnya akses kesehatan ini ditambah para dengan penyebaran dokter dan tenaga
kesehatan yang belum merata.
Dengan begitu, Daeng mengatakan perlu adanya perbaikan dalam sistem kesehatan.
“Jika sistem kesehatan baik, maka dokter dan tenaga kesehatan juga akan
bekerja dengan baik,” kata dia.
Tak hanya itu, IDI juga mengharapkan upaya konkret yang dilakukan pemerintah.
Usaha promotif dan preventif yang telah dilakoni sebelumnya perlu dilengkapi
dengan upaya nyata untuk menangani masalah kesehatan.
“IDI mengusulkan untuk memberikan anggaran cukup untuk Puskesmas. Puskesmas diharapkan jadi garda depan usaha
preventif dan promotif, bukan lagi mengurusi JKN atau BPJS,” ujar Daeng.
Berdasarkan catatan IDI, dari 9.850 puskesmas yang ada
di Indonesia, hanya 100 di antaranya yang terakreditasi paripurna. Angka ini
setara dengan 1 persen dari seluruh puskesmas yang ada.
“IDI sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah orang sakit yang tidak
terkendali [karena minimnya akses]. Ini akan menurunkan target-target
SDGs,” jelas Daeng.
Selain soal minimnya akses kesehatan, IDI juga mencermati oleh ketertinggalan
dunia kedokteran Indonesia dalam persaingan global.
Secara global, kata Daeng, dunia kedokteran telah berkembang pesat karena
dukungan teknologi canggih. “Indonesia terbilang ketinggalan akibat
regulasi yang tidak mendukung,” kata dia.
IDI berharap agar Menkes Terawan tak hanya berperan sebagai regulator, tapi
juga menjadi penggerak antara semua stakeholder terkait untuk saling
berkolaborasi.
Masalah kesehatan di Indonesia masih saja lesu. Selama 5 tahun Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjalan, belum banyak kebijakan berarti untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Langkah-langkah penting seharusnya bisa diambil untuk menyetop dan mencegah berbagai penyakit. Mulai dari penyakit menular, penyakit kronis tidak menular, hingga penyakit jiwa.
Sementara itu, menyoroti berbagai masalah kesehatan yang masih terus terjadi selama lima tahun terakhir. Penyakit kronis tidak menular yang mengancam kesehatan dan produktivitas masyarakat seperti jantung, diabetes, gagal ginjal, dan kanker seharusnya mendapat perhatian lebih.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi sejumlah kondisi kesehatan meningkat dibandingkan Riskesdas 2013. Tekanan darah tinggi atau hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.
Prevalensi obesitas juga melonjak dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen. Diabetes melitus berdasarkan pemeriksaan darah naik dari 6,9 menjadi 8,5 persen.
Penyakit-penyakit tidak menular ini sebenarnya bisa dicegah dengan pola hidup sehat seperti melakukan aktivitas fisik, makanan yang bergizi seimbang, dan tidak merokok.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, sebenarnya sudah mengampanyekan program pencegahan untuk menghentikan penyakit menular dan tidak menular, seperti Gerakan Masyarakat Sehat (Germas)