Presiden Joko Widodo dianggap salah langkah dalam pemilihan menteri di Kabinet Indonesia Maju. Salah satunya dengan mengangkat kembali Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, langkah tersebut semakin memperkecil kemungkinan penerbitan Perppu KPK. Dia mengatakan seharusnya Yasonna tidak dipilih kembali menjadi Menkumham.
“Kalau dilihat riwayatnya, dialah (Yasonna) sebenarnya yang paling menjebak presiden, yang menjebak presiden itu Menkumham, sampai presiden menandatangani Revisi UU KPK,” kata Abdul di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).
Meski
begitu, menurut Abdul, publik tetap harus berpikir positif soal penerbitan
Perppu KPK oleh Jokowi. Sebab Abdul berharap, Mahfud MD yang mengisi jabatan
Menko Polhukam, bisa mendorong presiden
mengeluarkan Perppu.
“Saya kira kita serahkanlah dengan strateginya diam-diam dia menghasilkan
gitu ya, saya percaya Pak Mahfud punya komitmen yang sama, ketika dia masih di luar pemerintahan,” kata
Abdul.
Dalam
kesempatan itu, Abdul juga berharap presiden akan mengeluarkan Perppu sebelum
akhir 2019 ini. Menurutnya, jika Perppu KPK tak kunjung diterbitkan hingga
akhir tahun ini, maka dipastikan Jokowi sama sekali tak akan mengeluarkannya.
Dia berpendapat, jika Jokowi tetap teguh, tak ingin memgeluarkan
Perppu, maka akan ada konsekuensi politik yang akan dia tanggung sepanjang
hidup. Yaitu, ingatan sejarah di masa pemerintahan Jokowi, KPK dilemahkan.
“Kegiatan proyek pembangunan fisik, sekarang banyaknya seperti apa? Siapa
yang mengawasi? omong kosong kalau misalnya tidak ada korupsi. Belum ketahuan
saja,” kata Abdul.
Di tempat terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil
mendesak Presiden Jokowi memutus lingkaran setan oligarki politik di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Mufti Makarim mengatakan, Jokowi harus mengkaji ulang, elite yang tidak memihak
pada kepentingan publik.
“Kami menyerukan pemerintah Joko Widodo untuk memutus lingkaran setan
oligarki politik di Indonesia,” ujar Mufti dalam keterangan pers di
Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Mufti
menuturkan, elite dan oligarki politik
di era pemerintahan Jokowi telah merenggut hak warga negara dalam melakukan
koreksi terhadap kepemimpinan politik penguasa. Ia berkata pembagian jatah
kursi kabinet dan kursi pimpinan legislatif adalah gambaran terbaik dari proses
oligarki.
Mufti berkata, kemenangan Jokowi pada
Pilpres 2019 mensyaratkan hutang politik yang besar. Hutang itu, lanjut dia,
harus segera dibayar melalui proyek-proyek strategis, pengesahan undang-undang
yang proindustri dan investasi, serta berbagai insentif lainnya.
Sementara Jokowi, dinilai terjebak di antara
elite politik dan korporasi. Dia berkata membuat konflik agraria, penggusuran,
dan perusakan lingkungan pada periode pertama dapat terulang kembali.
“Demikian juga pengerdilan ruang kebebasan sipil berpotensi terus terjadi
dalam skala dan frekuensi yang berlipat ganda,” ujarnya.
Di sisi lain, Mufti menyampaikan ruang kebebasan sipil di era Jokowi mengalami
penyusutan. Ia berkata, saat ini masyarakat merasa
takut ketika hendak menyampaikan pendapat, diteror ketika berserikat, dan
diancam saat berkumpul.
Beberapa kasus penyusutan ruang kebebasan sipil, yakni intimidasi dan ancaman
kriminalisasi yang menimpa aktivis lingkungan yang mengkritik pengelolaan
tambang di Kalimantan Timur.
Selain
itu, terdapat pula pembubaran diskusi, pembekuan lembaga pers mahasiswa, hingga
pemecatan mahasiswa lantaran kritis terhadap kondisi sekitar.
Terbaru, ia menyebut kekerasan dan penahanan sewenang-wenang terhadap mahasiswa
yang mengikuti aksi
“Di periode pertama pemerintahan Jokowi, kabar-kabar itu seperti jadi
sarapan sehari-hari,” ujar Mufti.
Terkait pengerdilan ruang kebebasan sipil, Mufti menilai hal itu terjadi karena
Jokowi memiliki ambisi tinggi terkait pembangunan fisik, investasi, dan
pengembangan ruang-ruang industri.
Namun, dia menilai ambisi Jokowi tidak diimbangi dengan pembangunan
infrastruktur demokrasi yang kokoh dan berpihak pada pemenuhan hak dan
kepentingan publik.
“Segenap rencana pembangunan akhirnya diselenggarakan tanpa mempedulikan
ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung warga,” ujarnya (bs/syakhruddin)