Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Jhonny G. Plate meminta masyarakat untuk tidak membuat kegaduhan seiring massifnya peredaran hoaks pada waktu tertentu. seperti ketika pengumuman Pilpres dan saat rusuh Papua.
Johnny meminta masyarakat tidak membuat gaduh dan melanggar hukum, sehingga pihaknya tidak perlu melakukan pembatasan hingga memblokir internet.
“Tentu pilihan saya tidak ada pembatasan. Supaya hal ini tidak dilakukan, maka jangan buat kacau dan jangan melanggar hukum,” ujar Johnny usai konferensi media di Kantor Kemenkominfo, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengajak para operator seluler
untuk memikirkan kembali dan menghitung ulang terkait konsolidasi, agar
menyehatkan industri telekomunikasi di Indonesia.
“Konsolidasi kami serahkan secara penuh secara B2B antara operator
seluler. Oleh karena itu, kami akan mengajak mereka untuk berpikir dan
menghitung ulang bagaimana konsolidasi bisa terjadi,” kata Direktur
Jenderal Pos dan Penyelenggaraan Informatika (PPI) Kemenkominfo, Ahmad M.
Ramli, Senin (28/10/2019).
Ramli mengatakan dengan konsolidasi itu, diharapkan secara merata operator bisa
tumbuh dengan baik. Sebab, ia menilai masih ada operator yang pertumbuhannya
cukup pelan.
“Kami lihat tidak seluruh opsel tumbuh dengan baik, ada yang tumbuhnya
sangat pelan tetapi juga ada yang sangat tinggi. Apalagi dengan serangan over
the top, yakni ada WhatsApp, Line dan lainnya yang membuat mereka harus
bersaing dengan ketat,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 Rudiantara
menyebut faktor bisnis menjadi kendala operator telekomunikasi belum mau
melakukan konsolidasi.
Dia menilai operator menaruh perhatian apakah setelah melakukan konsolidasi,
terjadi penguatan neraca saldo (balance sheet) atau tidak.
“Bisnis, lah. Nanti akibatnya ke balance sheet [neraca saldo], makin kuat
atau tidak,” kata Rudiantara di The Ballroom Djakarta Theater XXI,
Jakarta, September 2019 lalu.
Pria yang akrab disapa Chief RA ini menambahkan bisnis tidak hanya terkait
‘nilai’, tetapi juga siapa pengendali dan operator telekomunikasi mana yang
akan bertaha saat terjadi konsolidasi.
“Iya, mereka kalau mau bicara nilai berapa, ini saja sebetulnya. Artinya,
untuk menentukan siapa pengendalinya dan nanti surviving operator [operator
yang bertahan hidup] itu siapa,” ucapnya.
Sebetulnya, Kemenkominfo melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
telah menyiapkan tiga opsi kepemilikan spektrum frekuensi jika terjadi
konsolidasi. BRTI bakal menyertakan kepemilikan frekuensi ke dalam Peraturan
Menteri (Permen) yang mengatur soal konsolidasi.
Penetapan frekuensi sendiri sebetulnya sudah diatur dalam Undang-undang
Telekomunikasi Tahun 1999 yang mengamanatkan frekuensi adalah milik negara.
Oleh karena itu, jika satu operator berhenti beroperasi karena diakuisisi atau
pailit, maka frekuensi operator harus dikembalikan kepada pemerintah
Namun ia
tidak menutup kemungkinan adanya pembatasan internet jika situasi dianggap
abnormal atau bisa membahayakan masyarakat.
Ia menegaskan jika langkah tersebut kemungkinan akan dilakukan untuk sementara
waktu. Kendati demikian ia menyebut pembatasan internet sementara bukan berarti
Kemenkominfo menghambat kebebasan berekspresi.
“Di mana ada kejadian yang membahayakan masyarakat, pilihan yang pertama
adalah menyelamatkan
mereka dengan mengambil sedikit hak masyarakat melalui pembatasan sementara.
Sebab, kami menghormati kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ucapnya.
Kemenkominfo di era Rudiantara sebelumnya melakukan pembatasan akses media
sosial disela demonstrasi di Jakarta pada 21 dan 22 Mei 2019. Tak hanya itu,
pembatasan akses internet juga dilakukan di Papua dengan dalih untuk menekan
hoaks saat terjadi kerusuhan.
Keputusan tersebut menuai protes dari banyak pihak. Executive director
SAFENet Damar Juaniarto mengatakan pemblokiran internet di Papua mencerminkan
pemerintahan yang baik.
“Sekali lagi kami tegaskan, tindakan internet shutdown tak lain adalah
upaya memperdaya hukum dan mencirikan sebuah kebijakan yang jauh dari
kualifikasi good governance yang transparan, akuntabel dan mengakui supremasi
hukum,” kata Damar beberapa saat lalu.
SAFENet tetap
mengkritik kebijakan pemblokiran karena proses pngambilan keputusan dinilai
tidak melalui prosedur standar operasi yang jelas (bs/syakhruddin)