China merupakan salah satu negara yang sering memberikan pinjaman kepada negara lain, tak terkecuali Indonesia.
Pinjaman dari luar
negeri yang diberikan beragam, bisa bilateral, multilateral sampai fasilitas
kredit.
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh Kiel Institute For Global Economy, saat ini ada tujuh negara yang utangnya banyak ke China.
Bahkan sampai lewat dari 25% dari produk domestik bruto mereka. Apa saja negara itu? Indonesia masuk urutan nggak ya?
Negara terbanyak yang meminjam adalah Djibouti, Nigeria
dan Republik Kongo. Ketiganya berada di Afrika. Kemudian ada empat negara lain
yang berasal dari Asia yaitu Kyrgyzstan, Laos, Kamboja dan Maladewa.
Utang-utang ini merupakan pinjaman langsung dan
tidak termasuk kepemilikan utang jangka pendek.
Di China, pinjaman luar negeri langsung mulai
tumbuh pesat sekitar 2010 lalu.
Hal ini karena China mampu memberikan pinjaman yang lebih besar dengan masa
waktu yang lebih pendek dibandingkan meminta bantuan ke Bank Dunia.
Namun ada risiko gagal bayar di balik banyaknya
utang luar negeri negara-negara tersebut ke China. Utang menjadi salah
satu hal yang sering dikritisi terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Hingga Agustus 2019 utang pemerintah sudah mencapai Rp 4.680,19 triliun. Dalam dialog bersama dengan 100 ekonom, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kembali ditanyakan terkait kondisi utang pemerintah.
Dia menjawab bahwa
pemerintah berutang lantaran terpaksa untuk menutupi kekurangan anggaran.
“Terpaksa berutang karena defisit ya
berutang dengan menerbitkan obligasi apakah itu dalam bentuk dolar, yen belum
tentu rupiah,” ujarnya di Hotel Westin, Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Meski begitu, JK menekankan bahwa utang
pemerintah masih dalam tahap aman. Berdasarkan rasio utang terhadap PDB, RI
masih di bawah batas 30% atau tepatnya 29,80%.
“Dibandingkan Malaysia 50% dari pada PDB,
Turki 80% hampir 100%,” tambahnya.
Memang, JK mengakui utang-utang itu merupakan
permasalahan. Tapi jika masih bisa dibayar, tidak jadi masalah
“Tapi ekonomi kita bisa bayar, utang banyak
asal bisa bayar. Apalagi 30% terhadap PDB, dibandingkan dengan negara lain,
aman,” tegasnya.
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) sektor swasta per akhir Agustus sebesar US$ 197,21 miliar atau sekira Rp 2.794,15 triliun.
Dari jumlah tersebut,
US$ 51,07 miliar atau Rp 723,11 triliun adalah utang Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).
Dari sisi jumlah, utang BUMN memang masih lebih
kecil dibandingkan swasta,
yaitu hanya 25,89%. Namun pertumbuhannya sangat tinggi.
Seperti dikutip pada Agustus lalu ULN BUMN
tumbuh nyaris 40% year-on-year (YoY). Jauh melampaui pertumbuhan ULN swasta
secara umum yaitu 9,3%.
Pertumbuhan utang BUMN yang demikian cepat membuat sejumlah pihak mengutarakan kekhawatiran.
Laporan lembaga
pemeringkat Fitch Ratings menyatakan, dua BUMN karya yaitu PT Wijaya Karya Tbk
(WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) akan mengalami kesulitan dalam
menurunkan beban utang.
Fitch mencatat leverage Wijaya Karya pada
semester I-2019 adalah 5,6 kali, naik dibandingkan periode yang sama pada 2018
yaitu 4 kali. Sementara leverage Waskita Karya dalam waktu yang sama naik jadi
8,8 kali dari 7,2 kali.
Kemudian lembaga pemeringkat lainnya, yaitu
Moody’s, menyebutkan bahwa BUMN di sejumlah negara termasuk Indonesia
menunjukkan utang yang sudah mengkhawatirkan.
Beberapa indikator yang
digunakan oleh Moody’s untuk melihat adanya risiko tersebut antara lain rasio
utang terhadap modal (Debt to Equity Ratio/DER), kemampuan bayar utang
(Interest Coverage Ratio/ICR), rasio balik modal (Return on Equity/ROE), serta
persentase utang terhadap ukuran ekonomi BUMN.
Moody’s menyoroti beberapa BUMN yaitu Waskita
Karya, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Kimia Farma
Tbk (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), dan PT Indofarma Tbk (INAF).
Pertumbuhan utang BUMN karya menduduki posisi
teratas, di mana total utang Waskita Karya yang pada 2014 adalah Rp Rp 9,7
triliun, pada akhir Juni 2019 melesat hingga Rp 103,7 triliun atau naik 970%
dalam 6 tahun (bs/syakhruddin)