Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang sudah direvisi dan disahkan oleh DPR-Pemerintah akan mulai berlaku pada hari ini, Kamis (17/10/2019).
Setelah peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (perppu) yang diharapakan tak kunjung keluar.
Sudah atau belumnya
Presiden Joko Widodo menandatangani naskah Undang-undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terbaru
tak lagi jadi masalah. Toh, aturan tersebut tetap berlaku hari ini sesuai
ketentuan.
Ini ditegaskan oleh pakar Hukum Tata Negara Universitas
Tarumanegara Ahmad Redi.
Menurutnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 20 ayat 5, Undang-undang
yang telah disetujui bersama antara DPR dan pemerintah tetap akan berlaku meski
tak ada tanda tangan presiden.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo memastikan, pihaknya tetap dapat melakukan operasi tangkap tangan ( OTT) meskipun Undang-Undang KPK hasil revisi mulai berlaku.
OTT tetap dapat dilakukan, setelah KPK berkomunikasi dengan jajaran internal dan membuat peraturan komisi (teknis), demi menyesuaikan diri dengan UU KPK hasil revisi.
“Misalkan besok ada kasus yang memenuhi penyelidikan
matang dan bisa dilakukan OTT, ya bisa saja dilakukan OTT, begitu ya,”
ujar Agus dalam konferensi pers, Rabu (16/10/2019) malam.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai memberlakukan Undang-undang baru hasil revisi yang sebelumnya telah disahkan DPR dan Pemerintah pada (17/09/2019).
Banyak pihak yang menyebut bahwa revisi UU KPK oleh DPR adalah upaya untuk memperlemah lembaga itu.
Ekonom Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fachru Nofrian mengatakan bahwa narasi yang berkembang terhadap publik belakangan ini adalah penguatan kelembagaan KPK.
“Tetapi praktik ekonomi politik hukum yang terjadi adalah kontradiksi, yakni pelemahan KPK,” katanya, Rabu (16/10/2019).
Dalam keterangan resminya, dia mengatakan bahwa KPK adalah institusi negara yang berperan langsung menjaga anggaran negara dari korupsi aparat-aparat yang terlibat di dalamnya.
Menurut dia, saat ini telah terjadi proses tarik-menarik ekonomi politik di dalam institusi negara yang melemahkan dan berhadapan dengan masyarakat sipil yang hendak menjaganya.
“Kuat atau lemahnya KPK seharusnya mencerminkan fungsi negara yang bekerja sebagaimana mestinya dan pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi pendapatan,” katanya.
Dengan adanya upaya pelemahan KPK, kata dia, maka fungsi negara menjadi kabur, di mana pemberantasan korupsi oleh negara juga akan melemah, sehingga dinilai akan mengganggu perekonomian khususnya implementasi anggaran negara.
“Ekonomi publik secara keseluruhan akan terganggu menjadi semakin tidak efisien.
ICOR Indonesia sudah paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Dengan KPK yang lemah dan pemerintahan yang tidak bersih, maka kondisi ekonomi makro akan semakin tidak efisien,” ujar dia.
Menurut Fachru, sebagai entitas mikro, fakta juga memperlihatkan bahwa KPK sudah banyak menyelesaikan kasus korupsi.
Tetapi, praktik hukum mikro seperti operasi tangkap tangan (OTT) KPK dinilainya sangat tidak disukai oleh politisi, anggota parlemen, kepala daerah, dan aparat negara secara keseluruhan.
“Karena itu, KPK sengaja dilemahkan dari dalam negara itu sendiri karena dianggap sebagai pengganggu dari sistem yang sudah oligarkis,” katanya.
Dia juga mengatakan, hampir di semua ranah ekonomi menuntut keseriusan dalam pemberantasan korupsi.
Hanya saja, jika korupsi diberantas tetapi tidak memberikan dampak kepada kemudahan transmisi makro kepada masyarakat tentu hal itu juga merupakan sebuah kontradiksi.
“Karena secara apriori bukan tidak mungkin pemberantasan korupsi justru digunakan untuk kepentingan mengalahkan lawan dan mengabaikan persoalan ekonomi,” katanya (bs/syakhruddin)