Baiq Nuril merupakan mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang mengalami pelecehan seksual secara verbal, oleh eks kepala sekolah tempatnya bekerja, Muslim. Kasus pelecehan itu ia rekam di ponsel.
Alih-alih mendapat perlindungan, Nuril malah diseret ke ranah hukum, karena ia dituding menyebarkan rekaman percakapan mesum Muslim.
Muslim melaporkan Nuril, dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 Undang-undang ITE. Atas pelaporan ini, Nuril digelandang ke pengadilan.
Namun di Pengadilan Negeri Mataram, ia terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.
Ibu tiga anak itu divonis 6 bulan bui dan denda Rp 500 juta. Nuril mengajukan PK ke MA. Namun, MA pada menolak PK yang diajukan Baiq Nuril.
Sri menuturkan dalam proses sidang di pengadilan negeri, Komnas Perempuan hadir menjadi saksi ahli dan menjelaskan, bahwa terdakwa adalah korban oleh pelapor.
Di tingkat pengadilan negeri, Baiq Nuril diputuskan tidak bersalah.
Setelah PK ditolak, Baiq Nuril langsung bertemu dengan Menkum HAM Yasonna Laoly. Yasonna pun mengumpulkan pakar hukum untuk membahas opsi amnesti bagi Baiq Nuril.
Moeldoko menyebut ada kemungkinan Jokowi, memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. “Oh bisa, mungkin,” kata Moeldoko.
Pada kasus ini, Baiq Nuril dihukum, karena merekam pembicaraan mesum kepala sekolah. Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram.
Kepsek lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut.
MA menegaskan kesalahan Baiq Nuril telah nyata, yaitu melakukan perekaman ilegal dan menyebarluaskan rekaman itu. Rekaman menggunakan HP itu disimpan oleh Baiq Nuril.
Rencana mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna mencari keadilan.