Perjalanan panjang menyeleksi calon (Korteks) Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai pendamping pada tiga kabupaten di Tanah Papua, memberikan pengalaman berharga, berbagai kisah yang menyertai perjalanan panjang, diungkap dengan gaya bertutur oleh Penulis H.Syakhruddin.DN.
Hari Kamis menjelang subuh 22 Februari 2018, dengan diantar sang isteri, Hj. Nurlia Syakhruddin dan bertindak sebagai sopir, Tri Puspita Sari menuju Bandara Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar di Mandai, dalam suasana keheningan malam menjelang subuh.
Tiba di Bandara, langsung check in sekalian membantu untuk check in, anggota tim lainnya bernama, Drs.Abd Haris, M.Pd dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) pada Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kabupaten Gowa.
Assesor yang direkomendir Direktur Fakir Miskin Pesisir, Pulau Terluar dan Antar Negara, DR Abdul Hayat di Jakarta untuk menjadi anggota tim assesor dalam seleksi calon Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) di Tanah Papua.
Kami berkenalan singkat dan langsung menuju Masjid Bandara Sulhas untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah, lanjut ngopi bareng, sembari menantikan Sapti Wulandari, S.P.Si dari Kementerian Sosial yang sedang sholat subuh sekaligus ditunjuk sebagai koordinator perjalanan, melintasi Kabupaten Dogiyai, Deyyai dan Kabupaten Paniai, selama tiga hari perjalanan.
Dengan pesawat GA 654 para anggota tim assesor memulai penerbangan menuju Bandar Udara Jayapura di Sentani, sebelumnya transit di Bandara Timika, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bandara Jayapura di Sentani.
Setelah transit selama dua jam di Sentani, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandara Nabire, dengan lama penerbangan satu setengah jam.
Sesungguhnya tim assesor sudah satu pesawat dengan anggota tim lainnya dari Papua yaitu, Pius, S.Sos, M.Si yang berasal dari Balai Besar di Papua dan Supangat dari Dinas Sosial Provinsi Papua, namun belum saling mengenal satu sama lain.
Setelah mendarat di Nabire, Sapti Wulandari, Pius dan Supangat sempat bernegosiasi dengan sopir mobil untuk sewa mobil (charter) selama tiga hari. Akhirnya disepakati dengan biaya Rp 5,6 juta untuk menjangkau tiga kabupaten yaitu Kabupaten Dogiyai – Deiyai dan Paniai dengan panjang perjalanan 680 km (pergi-pulang).
Adalah Asbudi alias Budi sang pemilik mobil yg langsung menjadi sopirnya. Selain sopir sekaligus menjadi pemandu perjalanan, sang sopir yang pakai anting di telinga sebelah kanan, memberikan banyak informasi terhadap daerah tujuan dan mengetahui dengan mendalam, lika-liku perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya di Nabire hingga Paniai Papua.
Perjalanan dimulai pukul 15.00 wita, setelah membeli perbekalan di toko terakhir ke arah selatan, selanjutnya meluncur ke arah Kabupaten Dogiyai. Baru sekitar satu jam berlalu dalam lintasan, seorang pemuda paruh baya dalam kondisi setengah mabuk menghentikan mobil.
“Kakak, adaka sepuluh ribu ??? saya tidak palang jalan, hanya minta sepuluh ribu kakak” ujarnya sambil senyum sinis dan wajah yang memerah karena pengaruh minuman.
Budi lalu menyodorkan uang lembaran sepuluh ribu, lalu tancap gas menuju kilometer seratus, dalam suasana hujan rintik membasahi Nabire, menurut sang sopir, Nabire itu akronim dari Nanti Bikin Repot.
Perjalanan panjang tentunya mengasyikan sekaligus mendebarkan, setelah mendapat ceritera dari Budi, kalau soal palak-memalak disini adalah hal biasa, bahkan kalau tidak diberikan mobil bisa rusak.
Hujan rintik dan hawa dingin mulai menyergap anggota tim, perut para penumpang mulai keroncongan, tapi lokasi untuk makan malam, hanya ada pada kilometer seratus, artinya masih butuh waktu dua jam untuk sampai ke rest area.
Budi terus memacu kendaraannya, sesekali dia membunyikan klakson bila berpapasan dengan mobil lainnya. Kawasan menuju Kabupaten Dogiyai, terdapat tempat-tempat yang dinilai texas, tempat memalak bagi penduduk asli, terlebih bila malam minggu.
Budi menunjukkan kepada kami, lokasi dimana mereka biasa memalak pengemudi. Jalanan yang licin dan curam menjadi tantangan bagi pengemudi, agar tidak terjungkal ke dasar jurang, disini kami harus oper perseneling karena sebentar di puncak ada tikungan patah.
Sudah banyak mobil terjungkal ke jurang disini, katanya kepada Penulis sambil menunjukkan salah satu bangkai mobil yang sekarang kondisinya sudah mulai ditumbuhi tanaman liar.
Beberapa bangkai mobil lainnya yang pernah terjatuh ke dasar jurang, kini menjadi besi rongsokan di pinggir jalan, sekaligus sebagai monumen peringatan kecelakaan bagi para pengemudi yang sering melintas pada jalur Nabire-Paniai.
Sesuai ketentuan adat di Dogiyai-Deiyai dan Paniai, saat melewati kawasan pemukiman penduduk asli, harap berhati-hati. Kalau dipalak tidak usah menggerurutu, penuhi saja permintaannya, lalu segera tinggalkan secepat mungkin, jangan mau sok akrab dengan penduduk asli, karena sebagai pendatang tidak ada benarnya, yang benar itu adalah penduduk asli, ulas Budi kepada kami semua.
Budi melanjutkan ceriteranya, sesekali mengambil minum air putih. Menurutnya, kalau di Jakarta terjadi tabrakan atau pemalakan, langsung diketahui se Indonesia, karena ada di televisi.
Kalau di Papua, jarang terpublikasi, sehingga semua diselesaikan sendiri atau penyelesaian secara adat, khusus pada kasus tabrak babi atau nabrak penduduk asli.
Anda disini tak pernah benar, “Yang benar dia, pendatang tetap salah” ujar Budi.
Disini, kalau anda menabrak babi, maka puting susunya dihitung dengan nilai, satu puting susu nilainya lima juta rupiah, kalau babi laki–laki di hitung dari setiap bulunya, dan anda tidak pernah benar, yang benar penduduk asli. Kalau tidak mampu bayar, mobil di bakar, selesai persoalan.
Dalam kehidupan keseharian, laki-lakinya tak ada pekerjaan tetap, hanya jalan kesana kemari dan duduk menjemur diri diatas batu, sementara isteri yg urus anak, dan mencari umbi–umbian di hutan.
Bila berjalan bersama keluarga, yg bawa beban berat pasti isteri. Selain gendong babi, anaknya berjalan disiinya, sementara sang suami jalan santai tanpa beban.
Budaya lokal sudah disepakti, kalau seseorang sdh kawin dengan seorang perempuan, berarti isteri sudah dibeli, jadi wajib bawa beban, sementara sang isteri lebih menghargai babinya dibandingkan anak kandungnya.
Sehingga dalamsuatu perjalanan jauh, sang babi di gendong dan disusui, sementara anaknya berjalan disisi sang ibu. Mereka berjalan tanpa alas kaki, dan kehidupan yang masih natural berlangsung sepanjang hayatnya.
Mereka hidup di alam, tanpa celana dan alas kaki, tapi kekuatan mereka sangat prima. Menurut Budi, sang sopir yang memiliki banyak referensi tentang masyarakat disini, mereka jarang sakit, tapi kalau sakit sudah pasti mati.
Tiba di Penginapan Dogiyai : Setelah melakukan perjalanan sepanjang dua ratus kilometer, akhirnya tiba di Penginapan Dogiyai. Pemiliknya sudah tidur, tapi di papan penginapan ada nomor HP. Berkali-kali di kontak tapi tidak tembus, karena signalnya timbul tenggelam, setelah di gedor dengan keras, barulah sang pemilik bangun.
Suasana malam makin dingin, sang pemilik penginapan bernama lengkap Lambertus Malondong, beralamat di Kampung Ikebo Distrik Kamuu Kabupaten Dogiyai Papua, letak penginapannya dekat Bandara Perintis Moanemani Kabupaten Dogiyai.
Beliau berasal dari Tana Toraja Sulawesi Selatan dan sudah beranak pinak di Dogiyai. Sementara kami sedang bercakap-cakap, datanglah Kepala Dinas Sosial Kabupaten Dogiyai, Bapak Ir. Markus Mallu.
“Kenapa tidak di telepon Sapti, ujarnya dalam nada tanya.” Susah Pak di hubungi.
Nah itulah kondisi Dogiyai. Jadi saya sangat syukur, orang Kementerian Sosial datang ditempat kami, dan melihat kondisinya yang ril, terima kasih dan selamat datang.
Ujian di mulai, jaket dan HP Assesor melayang : Hari Jumat 23 Februari 2018 Pukul 07.00 wita, semua anggota rombongan sudah bangun dan mandi dalam kondisi yang sangat dingin. Usai menikmati minuman kopi di Penginapan Dogiyai, kami bergerak menuju Kantor Sosial Kabupaten Dogiyai.
Lama mencari dimana alamat kantornya, karena kawasan ini masih lokasi pemekaran, sehingga kantor sosialnya, masih menyewa rumah penduduk sebesar Rp 80 juta per tahun.
Satu-satunya tanda, bahwa itu kantor pemerintah, karena adanya “Rumpun Bambu Kuning” di depan kantornya, sehingga Kantor Sosial disebut juga “Kantor Sosial Bambu Kuning Dogiyai”
Tim assesor tiba di Kantor Sosial Dogiyai, dan menemukan dua orang petugas sedang menyapu, tak lama kemudian muncul tiga orang calon peserta ujian Korteks (Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial) yang akan mendampingi Bantuan Nontunai dan Beras Sejahtera untuk Kabupaten Dogiyai.
Kadis Sosial Ir. Markus Malli menyusul tiba bersama staf lainnya, selanjutnya pelaksanaan ujian tertulis berlangsung, setelah dibuka dengan resmi oleh Ir. Markus Malli, diikuti tiga peserta yaitu :
1. Pianus Tebai, Lahir Ekimani 30 Maret 1996 Alumni SMK Negeri 2 Nabire HP. 0812 8793 9350
2. Markus Pakei, ST Lahir di Daiyapa 13 Mei 1993 Alumni Sarjana Teknik Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire HP 0822 3958 2844
3. Marten Kotouki, S.Ip Lahir di Moanemani 6 November 1982 Alumni Universitas Satya Wiyata Mandala (Uswim) Nabire HP 0813 3355 5903
Dari hasil ujian tertulis, selanjutnya dilakukan wawancara oleh tim assesor yang terdiri, Drs.H.Syakhruddin.DN,M.Si dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Konsentrasi Kesejahteraan Sosial (PMI/Kessos), Pius.S,Sos,M.Si dari Balai Besar Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial Jayapura serta Drs.Abd Haris,M.Pd dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) sebagai Tenaga Fungsional.
Setelah pelaksanaan ujian tertulis dan lisan, akhirnya tim assesor menetapkan Markus Pakei, ST, Lahir di Daiyapa 13 Mei 1993 Alumni Sarjana Teknik Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire HP 0822 3958 2844 dilanjutkan dengan foto bersama.
Setelah semua perlengkapan administrasi dinyatakan lengkap dan pengumuman peserta yang lulus juga sudah disampaikan, maka kami meninggalkan Kantor Sosial Kabupaten Dogiyai.
Dengan lambaian tangan dari segenap jajaran Dinas Sosial Kabupaten Dogiyai perjalanan dilanjutkan ke Kabupaten Deyyai.
Sebelum tiba di Kantor Sosial Kabupaten Deyyai, Assesor Pius dari Balai Besar Jayapura, baru ingat kalau jaket kulit yang di beli di Surabaya pada saat HKSN tahun 2017, kacamata refleksi dan Handphone tertinggal di kursi tempat dia melaksanakan wawancara tadi.
Pius mulai gelisah dan harap-hara cemas, berharap barang kesayangannya bisa ditemukan kembali. Ia lalu menelpon Kadis Sosial Dogiyai yang posisinya sudah berada di Nabire.
“Halo Pak, jaket dan HP serta tas tertinggal di kantor bapak” oh ya, nanti saya upayakan tanya pada teman-teman.
Tapi biasanya di kantor, jangankan HP, laptop saja biasanya hilang, ungkap Markus dari balik telepon.
Akibat musibah ini, assesor Pius dari Balai Besar Jayapura menderita kerugian Rp 8 juta rupiah.
Mencari Kantor Sosial, di jawab Shio Sembilan : Memasuki Kabupaten Deyyai menjelang sholat Jumat, sayang kami tak menemukan masjid disini, yang banyak adalah gereja, sehingga tim langsung menuju Pasar Deyyai dan santap siang di warung lalapan Pekalongan.
Semua kebutuhan hidup di Dogiyai, Deyyai dan Paniai disuplay dari Nabire, sehingga jangan heran, bila harga langsat satu kilogram langsat dinilai dengan biaya Rp 150 ribu perkilogram.
Selanjutnya mencari Kantor Sosial Kabupaten Deyyai di kawasan daerah pemekaran yang baru berusia enam tahun.
Kami jalan melingkar mencari Kantor Sosial, karena penasaran akhirnya sang sopir lalu bertanya :
“ Bapa…!!! Dimana kantor sosial ??? “ bawa setengah baya menjawab : “ Shio sembilan to ??? keduanya lalu pada bingung.
Bukan shio sembilan Pak, dimana Kantor Sosial ??? oh ya tanya itu disebelah.
Seorang berpakaian seragam PNS, baru saja keluar dari tempat memasang togel, menunjukkan, kalau Kantor Sosial ada di atas gunung di belakang Kantor Bappeda.
Kabupaten Deyyai banyak penggemar toggel, ini terlihat di pasar dan disebuah kios di pajang dengan bebas tanpa pengwasan aparat.
Ketika kami sedang menunggu, tiba-tiba melintas seorang berpakaian seragam dan mengenakan jaket sambil tersenyum.
Pak Idris lalu melambaikan tangan, ia lalu mampir dan bertanya : “Apakah ini rombongan dari Kementerian Sosial ???” betul Pak, ujar Pak Haris.
Kami diantar ke kantor sosial, dan alangkah kagetnya, ternyata yang dipanggil tadi adalah Kadis Sosial Kabupaten Deyyai, Bapak Dominggus Zoo, S.Sos sekaligus merangkap pemegang kunci kantor.
Saat di tanya, Kenapa kaca kantor Bapak pecah-pecah ??? tanya Pius kepada Kadis. Ia lalu menjawab, Bapa…. ini perbuatan mantan Kadis Sosial yang dimutasi ke Inspektorat.
Karena tidak puas, maka sang kadis memecahkan kaca jendela, melepas papan nama, merusak listrik dan memecahkan kaca-kaca jendela. Semua ini saya sudah dokumentasikan dan laporannya sudah ada di tangan Bupati, ungkap Dominggus.
Tim assesor segera menggelar ujian tulis, dilanjutkan dengan wawancara, pesertanya :
1. Agustinus Madai, Lahir Puteugi 15 Agustus 1990 Alumni Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia (Asmi) Jayapura HP 0821 9857 8813
2. Kleopas Madai,SP Lahir Amobagata, 4 November 1990 Alumni Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire HP 0813 4307 5834
3. Aleks Madai,S.Kom, Lahir Damabagata 12 Maret 1990 Alumni STMIK Triguna Utama HP 0821 1172 5972
Dari hasil ujian lisan dan tertulis, akhirnya tim assesor menetapkan : Aleks Madai,S.Kom, Lahir Damabagata 12 Maret 1990 Alumni STMIK Triguna Utama HP 0821 1172 5972
Menjelang senja, kami melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Paniai. Alhamdulillah, tiba di Pania dan langsung melaksanakan Sholat Magrib di Masjid Raya Paniai.
Disini kami bertemu dengan “Jamaah Daulah berasal dari Bandung sebanyak 40 orang dipandu Muhammad Ridwan yang berasal dari Maros”
Usai sholat magrib dan jamak Isya, kami menuju tempat makan malam dengan menu sate kambing dan gulai di Pasar Sentral Kabupaten Paniai.
Setelah semuanya selesai, kami menuju Hotel Berlian dekat Kantor PLN. Dalam perjalanan ke hotel, kami bertiga sepakat untuk jalan kaki di pimpin oleh Supangat dari Dinas Sosial Papua.
Pak Supangat berjalan duluan, memandu kami mendaki jalan dan kami yang menyusul dibelakang dibuat ngos-ngosan.
Karena salah jalan, akhirnya kami kembali turun. Hanya saja cara jalan Pak Supangat yang sejak jadi pegawai sosial bertugas di Papua, sering jalan kaki, membuat kami tertinggal jauh. Terlebih beliau pakai jaket hitam.
Kami berusaha menyusulnya, tapi nyatanya Pak Supangat menghilang dalam kegelapan, selain jalannya lancar juga memakai jaket hitam.
Kami berdua kehilangan jejak, akhirnya kami berdua sepakat kembali ke tempat semula, tempat dimana singgah pertama membeli voucher. Disini kami berbincang dengan penjualnya yang ternyata orang Bugis Wajo, dan sudah 15 tahun, bermukim di Paniai.
Setelah itu, Budi datang menjemput pakai sepeda motor dan kami berboncengan tiga orang menuju Hotel Berlian Paniai. Disana menjadi bahan tertawaan, karena ditinggal Pak Supangat.
Saat di sepeda motor, kembali saya tanya, kenapa namamu ASBUDI, kalau itu akronim = Anak Sulawesi Bunuh Diri (Asbudi), hehehehe…. ada-ada saja.
Tiba di Berlian Hotel, petugas hotel memberi kami akses untuk internet, itupun sinyalnya timbul tenggelam, maka kami lebih memilih menarik selimut dan tidur dalam cuaca dingin yang amat sangat.
Suasana lembah dan angin malam yang menembus tulang sumsum, membuat kami harus keluar masuk buang air kecil. Tapi setiap selesai buang air kecil, kami minum air hangat yang selalu tersedia di meja makan Hotel Berlian Paniai.
Ujian Sabtu yang sedang libur : Dalam perjalanan ke Berlian Paniai sehari sebelumnya, Budi sang sopir berceritera, kalau disini banyak Musa. Penulis kembali bertanya, Apa itu Musa Pak Budi ??? oh ya….!!! Musa itu artinya Muka Sama, dan kamipun dibuat terbahak-bahak.
Di hari ketiga berada di Kabupaten Paniai, Tim melakukan ujian dengan peserta terdiri dari :
1. Yul Ivana Ivena Ta’dung, ST Lahir di Palopo 01 Januari 1996 Sarjana Teknik Sipil Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar HP. 0823 1092 0564, sekaligus aktifis Gereja di Paniai.
2. Zepanyel Tebai, S.Sos Lahir di Okaitadi 08 September 1985 Sarjana Sosial Program Studi Ilmu Administrasi Negara HP 0813 4418 8403, Zepanyel merupakan aktifis Gereja dan pandai bernyanyi
3. Keni Pigai, S.Ab Lahir di Nabire 27 Maret 1990 Sarjana Administrasi Bisnis HP 0822 4869 271
Hasil keputusan tim assesor sepakat menetapkan, Zepanyel Tebai, S.Sos Lahir di Okaitadi 08 September 1985, Sarjana Sosial Program Studi Ilmu Administrasi Negara HP 0813 4418 8403
Setelah selesai melaksanakan ujian, kami berfose bersama dengan peserta dan keluarga besar Dinas Sosial Kabupaten Paniai. Kadis yang memesan makanan untuk kami, petugasnya terlambat datang, akhirnya kami bergegas pergi.
Bahkan Kadis Sosial Kabupaten Paniai, Bapak Jengko Pigome, S.IP mau memberikan uang kontan Rp 1 juta rupiah untuk bekal diperjalanan, namun Sapti Wulandari, S. Psi menolak dengan halus.
“Mohon maaf sekali Pak Kadis, terima kasih” kami sudah dilengkapi dengan uang perjalanan, jika berkenan diberikan saja kepada peserta ujian, tutur Sapti dengan senyum simpul.
Jengko Pigome adalah sosok Kadis Sosial di ujung timur Papua yang memiliki rasa empati yang tingggi, dahulu beliau bertugas sebagai kepala bagian umum pada Pemkab Paniai, lalu bergeser sebagai Kepala Bagian Diklat, selanjutnya dimutasi menjadi Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Paniai dan baru menjabat sekitar enam bulan.
Dihadapan segenap keluarga besar Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Paniai kami foto bersama, dan saat itulah Pak Supangat baru ingat, kalau kacamatanya tertinggal di Berlian Hotel, dan ini merupakan peristiwa kehilangan yang kedua setelah kasus Pius di Kabupaten Dogiyai.
Selanjutnya tim kembali ke mobil dan melakukan perjalanan kembali ke Nabire menempuh jarak 340 kilometer, dan menginap di Hotel Karya Papua Nabire.
Di pagi buta kami bergegas menuju Bandara Nabire, belum sempat terbang dengan pesawat Wing’s Air, datang Satpam Hotel Nabire.
“Mbak Sapti, kunci hotel ikut terbawa,” Mbak Sapti bilang ada taruh di meja resepsionis, teringat akan pesan Budi, pendatang tak pernah menang, maka ditawarkan solusi ,daripada saling bersitegang urat leher.
Solusinya, “Begini Mbak, ganti saja harga kunci solusinya, berapa biayanya?? Seratus ribu saja mbak,” Usai penyerahan lembaran Rp 100 ribu, Sang Sekuriti segera stater motor dan melaju menuju Hotel Karya Papua” dan ini termasuk insiden yang ketiga yang kami alami.
Minggu 25 Februari 2018 Pukul 14.00 wita, Tim kami meninggalkan Nabire dengan akronim Nanti Bikin Rame (NaBiRe) kembali ke Makassar melalui Bandara Nabire ke Sentani, selanjutnya menuju Makassar dan mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar di Mandai, selanjutnya Sapti Wulandari meneruskan perjalanan menuju Jakarta dengan sejuta kenangan dari Tanah Papua.
Paniai Raksasa yang tertidur Pulas : Dahulu kabupaten ini sebelum dimekarkan, orang hanya tahu Kabupaten Paniai, belakangan pada pergantian beberapa era pemerintahan.
Kabupaten Paniai dimekarkan menjadi Nabire – Dogiyai – Deyyai dan Paniai sendiri yang berpusat di Madi. Dua daerah lainnya terpisah kawasan yaitu Weimena dan Puncak Jaya yang masih dalam kondisi selalu bersentuhan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sehingga para pendatang baik dari Bugis, Makassar, Buton, Toraja dan Enrekang masih terbatas datang kesana.
Dari pantauan selintas dan pengamatan umum, sesungguhnya ke empat kabupaten ini dapat menjadi kawasan pertanian yang subur, andai saja dapat di kelola dengan profesional.
Lahan yang luas membentang, kini hanya ditanami umbi-umbian, itupun dapat dikatakan hanya tumbuh liar di hutan-hutan, sehingga belum dikelola dengan mekanis.
Andaikata suatu ketika lahan ini dikelola dengan baik, maka dapat dipastikan bahan-bahan kebutuhan pokok akan dapat dipenuhi sendiri, dan tak perlu lagi inport dari luar daerah.
Demikian halnya di Kabupaten Deyyai, dengan Danau Tigi yang airnya bening membentang, merupakan kawasan pemeliharaan ikan yang sangat potensial.
Dahulu Nabire dikenal kota singkong lalu meningkat menjadi kota jeruk dan dewasa ini masyarakat mengenalnya dengan kota emas.
Ini baru saja satu kawasan, andaikata empat kabupaten yang masuk dalam daerah “Mapago” ini dikembangkan melalui tangan-tangan dingin yang potensial, maka dapat dipastikan, Paniai dan daerah lainnya merupakan penyumbang pertanian terbesar di tanah Papua.
Sayang sekali penduduknya masih membutuhkan pemahaman tentang potensinya dan meningkatkan sumber daya warganya, pada berbagai jenjang pendidikan, hingga suatu ketika Tanah Papua merupakan raksasa yang bangun dari tidur.
Masyarakatpun dapat menikmati kesejahteraan dari memiliki potensi alam yang subur bila dikembangkan sesuai sunnatullah dan pada gilirannya nanti kita berkata, “Papua-Mu Papua-Ku, Papua Kita Semua” Salamaki
Catatan perjalanan : H. Syakhruddin DN HP 081 2424 5938