Kita kembali tercengang, menyaksikan rekening gendut seorang anggota Polisi berpangkat Aiptu, bertugas di Papua dan kekayaan yang mencurigakan, seperti harta benda yang dikuasai oleh Jenderal Polisi Joko Susilo. Kini Joko Susilo, mantan Gubernur Akpol, sudah duduk di kursi pesakitan.
Joko dihadapkan di meja hijau oleh Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Abrahan Samad dari Makassar. Sebelumnya, kita juga terperangah dengan gembar-gembor pemberitaan Ahmad Fathanah yang memiliki begitu banyak mitra wanita.
Serta jaringan dengan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, hubungan kerja yang rapih dengan Menteri Pertanian Siswono yang berujung pada kasus impor daging sapi.
Kini Aiptu Labora Sitorus, Ahmad Fathanah dan PKS, saling berlomba menghiasi pemberitaan nasional, aroma politik yang berkompetisi, seiring dengan pendaftaran calon legislatif di berbagai tingkatan.
Kedua konteks diatas, membuat kita luput melihat bagaimana para calon kandidat bupati yang gagal dalam mendapatkan tiket dari partai pengusung. Mereka yang berhasil mendapatkan tiket, tentu sudah harus menyusun strategi, mulai dari pembentukan tim sukses, pemasangan baliho, strategi pemenangan bahkan cara-cara lama kembali akan di gelar, melalui kompensasi BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang terkadang diplesetkan, Bantuan Langsung Tewas.
Hari-hari mendatang seiring dengan kenaikan harga dan BBM yang akan ditetapkan setelah melalui keputusan DPR bersama Pemerintah. Tapi bagaimana dengan mereka yang gagal jadi calon bupati ???
Kini nasibnya kembali direnungi, mereka akan menanggung beban derita yang berkepenjangan, perasaan malu dan kecewa bahkan penyesalan dan itulah buah dari sebuah ambisi yang tidak seimbang antara harapan dan kenyataan.
Benar apa yang dikatakan para leluhur kita dimasa silam, yang tertulis dalam “Lontarak Makassar” Tenapa na sangka bulungna, na eromo angribba (belum lengkap bulunya sudah mau terbang), maka hasilnya tentu akan terjerembab, terjungkal dan berakhir dengan penyesalan.
Itulah rumus dari perpolitikan kita di Indonesia saat ini, dimana uang, kekuasaan, wanita alias harta, tahta dan wanita menjadi sarana utama untuk mencapai kedudukan yang bernama kepala daerah.
Namun bagi Aiptu Labora Sitorus, tak pernah mimpi mau jadi bupati atau jenderal Polisi, tapi aparat negara yang satu ini, sekalipun bertugas di ujung timur Indonesia, di Papua sana, baginya hanya satu pilihan, bagaimana rekening bisa gendut dengan konsep pemikiran, pangkat bisa rendah, tapi penghasilan harus Jenderal.
Labora Sitorus, kini sedang di sorot media, apakah ini sebuah pengalihan isue atau sebuah skenario yang mengarahkan pemberitaan, yang semula berpusat di Jakarta, lalu diarahkan ke Bumi Cendrawasih ??? wallahualam, biarlah sejarah yang akan menjawabnya.
Yang pasti, mari kita mendukung ketegaran KPK, bersama tim yang dipimpin Abraham Samad, seraya berdoa, semoga Labora Siturus bersedia kembali ke jalan lurus, dengan menyerahkan hasil audit rekening gendutnya kepada Negara untuk selanjutnya digunakan Negara, dalam upaya pengentasan kemiskinan di republik yang kini semakin membutuhkan ketegasan dari pemimpinnya, seraya bersama-sama bersorak ria, Horas ba, (habis beras makan gabah) …. salamaki.
Salam takzim,
www.syakhruddin.com
SMS : 081 2424 5938 PIN 2A2 7F 722
email : syakhruddin@yahoo.co.id
email : syakhruddin@gmail.com
www.syakhruddin.com
SMS : 081 2424 5938 PIN 2A2 7F 722
email : syakhruddin@yahoo.co.id
email : syakhruddin@gmail.com