SYAKHRUDDIN.COM – Sudah jatuh tertimpa tangga, demikian predikat yang layak diberikan bagi = 78 orang, warga korban kebakaran yang kini menempati rumah susun (rusun) milik Kemenpera di Sorowako.Selama dua tahun menghuni rusunawa, sambil menanti uluran tangan dari Pemkab Luwu Timur dan Kementerian Sosial RI.
Sekarang malah akan diusir keluar rusunawa, bila tidak mampu membayar biaya perawatan.Sementara untuk makan sehari-hari,para korban kebakaran, harus membanting tulang, mencari barang bekas dan mengolah sampah di sekitar kawasan PT. Inco Sorowako.
Sebuah ironi kehidupan yang mengusik rasa kemanusiaan bagi petinggi negeri, terutama Bupati Luwu Timur dan jajarannya. Tiga orang yang menjadi perwakilan korban, masing-masing Sdr.Syahrir, Andi Darwis Tanra dan Jasmin, mereka tergabung dalam Kelompok Persatuan Kesejahteraan Masyarakat Sawerigading Sorowako (PKMSS), mendatangi Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan di Jalan A.P.Pettarani No.59 Makassar untuk kembali mempertanyakan seputar bantuan sosial yang sangat diharapkan oleh warga.
Mereka kembali mempertanyakan bantuan untuk mereka, selanjutnya mereka membuat surat yang bertanggal 18 April 2013, perihal penanganan korban bencana kebakaran di Luwu Timur, yang peristiwanya, tgl 17 November 2011 di Jalan Andi Panguriseng Desa Sorowako Kec. Nuha Kab. Luwu Timur.
Surat tersebut ditembuskan kepada Gubernur Syahrul Yasin Limpo, Direktur PSKBS Kemsos RI, Bupati Luwu Timur, Kadisnakertransos Luwu Timur dan Menteri Sosial RI di Jakarta. Kami memang miskin dan tak berdaya, tapi kami layak hidup di Negara ini, tutur Syahrir yang juga menjadi juru bicara tim, selaku Imam di Masjid Rusunnawa Sorowako.
Pembiayaan ke Makassar sini, kami kumpul-kumpul uang sewa mobil. Di Sorowako, kami yang tinggal di Rusunawa, di tekan pemerintah setempat. Kepala Desa yang seharusnya mengayomi kami agar bisa hidup layak, malah kami dianggap pembangkang, padahal kalau ada kerja bakti, kami inilah orang-orang pertama hadir memberi dukungan.
Ternyata, habis manis sepah di buang, tutur Syahrir berapi-api. Nah, sekarang amanah kawan-kawan yang jadi korban kebakaran di Nuha sudah saya sampaikan kepada bapak-bapak di Dinas Sosial dan menembuskan suratnya kepada Menteri Sosial, selanjutnya kami akan kembali ke Sorowako mencari kehidupan dan menanti bantuan dari Kementerian Sosial, sebagai tumpuan akhir kami.
Kalau langkah ini, kami tidak diperhatikan, lebih baik bubar saja kita semua, ungkap Syahrir yang diamini Andi Darwis Tanra, termasuk Laode yang turut serta dalam rombongan. Sekilas tentang peristiwa kebakaran di Nuha-Sorowako, dijelaskan oleh Andi Darwis, bahwa pada tanggal 17 November 2011 di Jalan Andi Panguriseng Desa Sorowako Kec. Nuha Kab. Luwu Timur, terjadi kebakaran mengakibatkan = 78 buah hangus terbakar, dampaknya = 168 KK kehilangan tempat tinggal.
Dirincikan oleh Syahrir bahwa = 28 buah rumah berada di daratan dan 50 buah rumah lainnya, berada di Sempadan Danau Matano. Dari 78 jumlah rumah yang terbakar, terdapat 90 KK sedang mengontrak dirumah tersebut, sembari menjadi buruh di PT INCO Sorowako atau sambil bekerja serabutan untuk menunggu penerimaan sebagai karyawan pabrik. Kepala Desa Sorowako, H.Syamsuddin Nusi pernah melakukan pertemuan warga pada tanggal 23 Juli 2012 yang dihadiri Plt.Camat Nuha, Amran Aminuddin,S.STP.M.AsianGov. Kapolsek Nuha, AKP. Kafrawi Husain dan Kabid dari Kadis Sosial Disnakertransos, Drs.Sukarti.
Secara prinsip menegaskan, para warga bersedia menerima ketentuan bahwa bantuan sosial untuk BBR (bahan bangunan rumah) hanya mereka yang memiliki tanah dan rumah di daratan sebanyak = 28 KK dan mereka yang tinggal diatas Danau Matano, karena tidak memiliki lahan, maka cukup dalam bentuk jaminan hidup atau penguatan modal usaha.
Adapun tempat tinggal, sementara di Rusunawa, sambil mencari penghidupan dengan jalan mencari barang bekas untuk di daur ulang atau mencari ikan di sepanjang Danau Matano Sorowako. Hingga berita ini di publish, belum ada bantuan yang diperoleh, kecuali bantuan makan minum saat kejadian bencana dengan kehadiran TAGANA Sulsel dan Tagana Luwu Timur termasuk BPBD setempat.
Belakangan, seiring dengan perjalanan waktu, kami yang masih menghuni rusunawa di paksa keluar, kalau tidak membayar biaya perawatan, sementara untuk makan minum sehari-hari saja, harus berjuang dan membanting tulang. Barangkali, inilah yang menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memberi kami ruang untuk hidup, beri kami keleluasaan untuk berkarya supaya bisa mencari makan dan bangun rumah.
Jangan kami di tekan atau di intimidasi hanya untuk kepentingan perorangan atau kelompok. Disini kami juga layak hidup, di Negara Republik Indonesia tercinta, sekalipun kami hanya pemulung, tapi kami ikhlas dan berani bekerja keras, tutur Syahrir dengan mata yang berkaca-kaca, salamaki