SYAKHRUDDIN.COM – Seorang Pekerja Sosial disebut profesional apabila dia sudah memenuhi kriteria, yakni, telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dan sudah mengikuti pelatihan pekerja sosial sehingga dia mengetahui secara mendalam tentang metode,.
Etika dan kurikulum pekerjaan sosial, serta dia sudah mampu menemukan solusi pemecahan masalah bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Maka, sosok seperti ini diakui telah menempuh pendidikan profesi pekerja sosial.
Tidak berbeda dengan seorang alumni fakultas kedokteran. Dia belum bisa diakui seagai dokter sebelum menempuh pendidikan khusus kedokteran, plus pelatihan, baik teori maupun praktik langsung di lapangan.
Atau, sama halnya dengan seorang yang mengaku wartawan atau jurnalis. Orang ini belum berhak menyebut dirinya wartawan yang profesional, jika dia tidak pernah menempuh pendidikan tinggi, menjalani pendidikan dan pelatihan khusus kewartawanan, serta belum lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Pekerjaan Sosial pada mulanya merupakan kegiatan Philantropis dan Charity Work (pekerjaan tanpa pamrih dengan pola atas belas kasihan). Para penggiat Pekerja Sosial di Inggeris.
Kemudian mengembangkan eksistensi mereka dengan menyusun metode yang sistematis dan terukur, sehingga ditemukan proses pemberian bantuan yang – bukan lagi pemberian bantuan atas belas kasihan – akan tetapi secara terorganisir, terkoordinir, memiliki misi dan visi, baik untuk kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok atau masyarakat.
Dewasa ini, profesi Pekerjaan Sosial, semakin modern, seiring dengan kemajuan perkembangan zaman dan kompleksitas masalahnya. Hal ini ditandai berdirinya sekolah-sekolah yang membuka program studi bidang Kesejahteraan Sosial.
Pada masa lalu, ada sekolah yang disebut Sekolah Pekerjaan Sosial Atas (SPSA), kemudian berubah menjadi Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS), ke jenjang Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) di bawah naungan Kementerian Sosial RI di Bandung, Jawa Barat.
Ada juga STKS yang didirikan swasta, misalnya; STIKS Tamalanrea Makassar dibina oleh (Yayasan) atau UTS (Universitas Teknologi Sulawesi) yang berkampus di Borong Raya Makassar. Para alumni sekolah ini, banyak tersebar di berbagai instansi pemerintah maupun swasta dan berprofesi sebagai Pekerja Sosial.
Momentum Asean Free Trade Area(AFTA) tahun 2015, alumnus Sekolah Tinggi Pekerjaan Sosial, diharapkan mempermahir diri dalam hal penerapan seluk beluk metode penanganan masalah, makin terampil dan profesional memberikan bantuan kepada sasaran pekerjaan.
Tidak terkecuali para Pekerja Sosial yang mengabdi di panti-panti sosial seperti; anak yatim, anak jalanan, penyandang cacat, korban penyalahgunaan narkoba, dan lainnya.
Atau pekerja yang mengabdi di lembaga pemerintahan untuk menangani masalah sosial semisal; tunawisma, tunarungu, tunanetra, tunasusila, tunaaksara, dan tuna-tuna lainnya, sudah harus makin profesional di bidangnya menyongsong AFTA 2015. Intinya, Pekerja Sosial Indonesia, jangan sampai kalah dari negeri-negeri di Asia Tenggara dalam hal penanganan masalah sosial.
Profesionalisme Pekerja Sosial amat dibutuhkan, karena PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) sudah ada sepanjang hidup manusia, sejak bayi (bayi telantar), anak-anak nakal (anak jalanan), remaja (kenakalan remaja), dewasa (kelainan jiwa).
Orang tua (lanjut usia) hingga masalah yang terjadi pada aspek nonfisik seperti; terjadinya dekadensi nilai-nilai budaya dan menurunnya citra kepahlawanan di dalam pandangan masyarakat. Inilah semua yang menjadi ‘wilayah kerja’ bagi para profesional Pekerja Sosial (Social Worker).
Para Pekerja Sosial yang bertugas, baik di rumah sakit, panti sosial dan lembaga-lembaga yang menangani masalah sosial, maupun yang tergabung dalam organisasi internasional, hendaknya menjadi pionir penggerak di masyarakat dengan senantiasa berupaya meningkatkan kapasitas dan kafabilitasnya agar tetap eksis dalam memberikan bantuan pelayanan kepada masyarakat.
Berdayakan Pekerja Sosial
Hubungannya dengan Undang-Undang No.11 tahun 2009 pengganti UU No.6 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial UU No.11 tahun 2009 yang mengharuskan para Pekerja Sosial harus memiliki sertifikat kompetensi pekerjaan sosial.
Maka pada kesempatan ini, penulis mengimbau kepada para pengasuh panti-panti asuhan, panti-panti sosial, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun swasta, agar segera memberdayakan para Pekerja Sosial Profesional.
Karena untuk memperoleh sertifikat kompetensi, Pekerja Sosial harus benar-benar memiliki wilayah dan sasaran kerja yang jelas dan resmi sesuai peraturan pemerintah yang berlaku.
Bukan sekadar menjadi tenaga relawan sosial – yang kemungkinan bisa sewaktu-waktu justeru mengalami masalah sosial.
Sebaliknya, sebagaimana yang ditegaskan Ketua Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Drs. Tata Sudrajat, MSi pada seminar internasional bertopik;
“Profesionalisme Pekerja Sosial di Era Persaingan Bebas” yang berlangsung di Gedung BMDI, Makassar, harus benar-benar memperlihatkan profesional mereka dalam bekerja, sehingga mudah memperoleh pengakuan (kompetensi) yang dibuktikan dengan sertifikat.
Menyongsong kegiatan sertifikasi Pekerja Sosial, maka di Provinsi Sulawesi Selatan telah dikukuhkan DR. Hj. Ronawaty Anasiru, MSi sebagai Ketua IPSPI Sulsel, beralamat di Jalan Matahari No. 10, Makassar.
Sekaligus sebagai sekretariat utama IPSPI Sulsel. “Perlu diketahui Provinsi Sulsel merupakan provinsi ketiga di Indonesia yang sudah memiliki IPSPI,” katanya
Karena kita sudah punya sekretariat, maka semua pekerja sosial di daerah ini dihimbau supaya mendaftarkan diri di sekretariat untuk memperoleh kartu anggota.
Kartu anggota IPSPI hanya dikeluarkan secara nasional oleh pengurus pusat IPSPI di Jakarta. “Pendaftaran anggota IPSPI tersebut, sekaligus kami jadikan kegiatan pendataan anggota untuk memudahkan koordinasi,” ujar Rona seraya tersenyum manis, salamaki.
Berat juga tantangannya.
Semoga berhasil pak programnya!
Kunjungan balik komandan:) wah ternyata di tagana, semoga sukses pak… dulu aku suka di SAR
Apa kabarsaudaraku, lama tak saling mengunjungi blog, sukses selalu dalam pengabdian