Setiap hari selalu ada nuansa yang mengundang kegembiraan, membuat hati menjadi riang. Kali ini, cerita tentang “Ayam Ketawa Apel Pagi”.
Setiap pulang dari sholat subuh bersama jamaah Masjid Al-Abrar, Saya melanjutkan kebiasaan berolahraga naik sepeda ke Pantai Losari.
Kembali ke rumah kira-kira pukul 07.30 Wita. Setelah beristirahat sejenak sambil menikmati kopi dan kue khas Makassar, berupa “putu cangkir,
Anne melangkah ke samping rumah sambil membawa jagung tua kering untuk makanan ayam peliharaannya. Anne, termasuk pehobi ternak ayam.
Melihat Ane datang, seperti dikomandoi, ayam-ayam di kandangnya serentak berkokok; kokoktek, kokoktek …! Ribut sekali. Mereka menyerbu menuju Ane yang di tangannya sedang membawa jagung dalam kantong plastik keresek. Yang tidak satu komando ialah tingkahnya.
Jika ayam berkumpul, ternyata masing-masing punya tingkah yang berbeda. Ada ayam yang langkahnya lunglai dan dengan mata yang redup. Ada juga gesit, meloncat dan mengepakkan sayapnya seperti mau terbang.
Ada juga yang terus mendongakkan kepala sambil membuka mulutnya yang runcing, seakan menunggu, kalau-kalau ada butiran jagung lepas dari kantong plastik, maka langsung ditadahnya, dan banyak lagi tingkah ayam lainnya.
Pokoknya mereka semua seakan tidak sabar, menunggu kapan butiran jagung iu dilemparkan masuk ke kandang. Gerakan serbu ini mengingatkan Saya dulu waktu masih akif bekerja sebagai PNS.
Kekompakan bunyi ayam-ayam ini laksana anggota Korpri yang sedang apel pagi dan memberikan penghormatan umum kepada inspektur upacara.
Dalam keriuhan kokok ayam itu, ada kokok yang kedengarannya berbeda. Kokok awalnya terdengar biasa, seperti ayam-ayam lainnya. Tapi sebelum berakhir, kokoknya jadi panjang dan cepat, lalu berakhir dengan kokok yang mirip suara orang tertawa.
Itulah kokok ayam ketawa yang juga saya pelihara, tapi beda kandang dengan ayam-ayam lainnya.
Setelah jagung disebarkan ke kandang, suara kokok makin lama makin redup, karena ayam-ayam itu sedang berkonsenterasi menantu jagung. Sesekali kedengaran suara kokok yang agak keras.
Mungkin ada ayam yang kaget karena kakinya terinjak temannya. Ada juga ayam yang tiba-tiba meloncat sambil berkokok pendek dan merunduk ke kolam air yang ada di bawah kandang, sepertinya dia minta maaf kepada ikan-ikan Nila yang tinggal di dalam kolam itu.
“Sory bos, buang air dikit.” Tapi Nila tidak menyahut karena mulutnya sudah penuh dengan sisa-sisa jagung butir yang keluar dari pantat ayam. Nila piaraan itu, langsung menyantap kotoran tadi sambil menari dalam kolam.
Tradisi memberikan jagung sarapan pagi kepada ayam-ayam ini, menjadi hiburan khas di pagi hari. Untuk menambah hidupnya suasana, sesekali ayam ketawa di lepas, tapi tetap terkendali karena kakinya sebelah masih serikat tali.
Ada seekor ayam ketawa, begitu dilepas langsung menuju ayam betina yang sengaja tidak dikandangkan. Betapa lincahnya mencari pasangan agar “keinginannya” cepat tersalurkan pada kesempatan pertama.
Sesaat kemudian, di hadapan Ane, sang ayam ketawa sudah menindih seekor ayam betina. “Dasar ayam jago kandang, begitu dilepas sedikit, langsung beroperasi. Bagaimana kalau tidak dikandang. Barangkali belasan ayam betina jadi korban setiap hari,” kataku membatin sambil tersenyum sendiri.
Jauh di sana; di Garut, Ane teringat seorang pejantan yang tidak dikandang. Jadi dia bebas mencari betina dan menyalurkan hasrat sesuai keinginannya.
Hingga akhirnya dia berhasil “menindih” betina yang jauh lebih muda dari usianya. Sayangnya, pejantan Aceng tidak hati-hati. Dia kesandung hukum, dan akhirnya dimasukkan ke “kandang”. Dia tidak sebebas dulu lagi. Mungkin kokoknya pun sudah tidak ketawa.
Pejantan lainnya ada di Enrekang. Tersebutlah Ketua DPRD Enrekang, juga bebas mencari betina di kandang lain, padahal dia sudah puluhan tahun sekandang dengan betinanya yang setia.
Tapi karena kondisi tubuhnya yang mungkin overpejantan, sehingga dia masih perlu mencari betinalain di luar kandang. Ironisnya, saking sukanya dengan betina yang baru, betina yang lama diusirnya dari sampai ke luar kandang.
Senasib dengan Aceng, pejantan Natsir pun “dikandangkan” oleh aparat penegak hukum.
Ketika dua peristiwa ini saya ceritakan kepada seorang rekan jamaah, keluarlah tanggapannya: “Sesungguhnya Iman sudah Aman, akan tetapi si “Emen” yang susah diatur, karena dia tidak kenal Iman,”
katanya sambil tertawa. Mungkin tanaman-tanaman teh yang tersebar banyak di daerah Jawa Barat, tak bisa pernah tinggi batangnya, sebab setiap pucuk mudanya tumbuh, ada saja jari yang memetiknya. “Enaknya teh pucuk, memang di pucuknya,” bunyi iklan Teh Pucuk.
Sejenak Ane menengok Ayam Ketawa yang baru saja membuktikan kejantanannya, Ane tangkap. Setelah Ane mandikan, masukkan kembali ke kandangnya.
Begitu masuk, dia langsung berkokok. Kokoknya kedengaran makin panjang dan tertawanya makin bergelak.
Rupanya dia tahu bahwa dia dimasukkan ke kandang bukan karena dihukum akibat “menaiki” betina lain, tapi dipersiapkan agar dirinya lebih kuat nanaiki temanna. Salamaki tertawa, karena tertawa itu sehat.