Pepatah kuno mengatakan “Lancar Kaji Karena Di ulang, Pasar Jalan Karena Di tempuh” sesuatu yang diulang-ulang, akan terasa lancar dan yang jauh terasa makindekat.
Mungkin itulah kata kunci yang ANE akan kupas, kalau dimasa aktif sebagai Pegawai Negeri Siil (PNS), setiap kali pulang sholat subuh, maka langsung dilakukan aktifitas mempersiapkan “Apel Pagi Di Kantor”.
Segala persiapan dilaksanakan dengan berpacu waktu, terkadang kalau kondisi darurat, setrika pakaian, semir sepatu, panasi mobil dan memasang atribut di pakain dinas, agar terkesan keren.
Bila perlu, rambut yang sudah mulai memutih di semir ulang, dan isi dompet juga harus selalu siaga. Setiap kali sekuriti atau petugas yang datang membantu tanpa diminta, maka lembaran Sudirman melayang dengan tulus, ibaratnya teguran berganti fulus.
Oleh sebab itu, setiap mobil TAGANA 01 merapat dimana saja, baik di hotel maupun di kantor, ada saja, satu dua orang yang datang, seraya bertanya, ” Ada yang bisa saya bantu Pak ???“
Kalimat itu selalu menggugah untuk memberikan tip kepadanya, sekalipun tak ada yang memerlukan bantuan. Bagi ANE memberi itu mulia, sebagai ungkapan ayat, “tangan diatas lebih mulia daripada tangan dibawah. Karena kondisi sekarang sudah berubah, maka secara substansi, pemberian tip tetap dilakukan akan tetapi nilainya yang berkurang.
Memasuki etafe pensiun, kebiasan itu harus di rubah karena faktor kondisi. Pakaian dinas yang sudah dilipat, kini berganti dengan “busana muslim” dari berbagai model, tidak lupa pakaian “gamis” untuk persiapan sholat dirumah.
Perlengkapannya pun berubah, mulai dari payung, sandal jepit, atau sandal anti rematik, sajadah dan songkok hitam.
Posisinya harus ditaruh di tempat yang mudah dijangkau, sehingga setelah bangun tidur, bisa mengambil ke sasaran tanpa mengganggu anggota rumah lainnya.
Termasuk kunci rumah, harus berada di kotak pot bunga, sehingga mati lampupun masih bisa diraih. Intinya “ala bisa karena biasa”.
Belum lengkap dengan busana Muslim, kali ini harus ditambah perlengkapan olah raga, mulai dari sepatu kets, baju olah raga dan tas pinggang, didalamnya beisi dompet, HP, tustel dan buku catatan.
Ssepeda harus posisi siaga di garasi, kuncinya terikat di sekitar sadel, pendek kata harus “stand by” untuk kelengkapan di tambah handuk kecil dan aqua.
Sekembalinya sholat subuh, lepaskan busana koko dan berganti dengan pakaian olah raga. Kalau selama ini harus “Apel pagi di halaman kantor” maka sekarang menjemput mentari di “Pantai Losari”.
Disana kami menyaksikan, bagaimana anak-anak remaja yang sedang di landa asmara, berjalan bergandengan tangan, sementara di sisi jalan trotoar.
Nampak touke-achi tua serta anggota masyarakat yang terbilang jompo, berjalan pelan namun tetap bersemangat.
Ingin rasanya saya mengucapkan salam “semangat pagi” namun niat itu, kuurungkan karena nafasnya sudah mulai terengah-engah.
Bagi ANE, jangan lihat “casingnya” tapi semangatnya itu lho, “gumanku dalam hati.” sementara di pinggir laut, dua sejoli sibuk berfoto, mereka bergantian dan tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Seusai berfoto, sambil bergandengan tangan dan sesekali cekikikan, menuju mobilnya dan langsung menghilang dalam suasana kota yang meranjak sibuk.
Setelah keringat pagi mengucur, ANE mengambil sepeda dan memutar arah kembali ke rumah. Di sekitar kawasan Toko Ende Makassar, ANE mampir di salah satu warung kopi.
Disana ada pengusaha, ada Polisi yang sedang sarapan pagi, ada juga olahragawan dan warga pendatang yang sedang ngopi.
ANE segera memesan teh panas dan kue-kue. Sambil menikmati minuman, sejenak fikiran melayang ke negeri seberang.
Disana bersemayam, seseorang yang selalu dengan setia menanti, membaca naskah-naskah blogku tanpa pernah mau berkomentar. “Beliau adalah pahlawan di balik layar.”
Dari kearifan jiwa yang dimiliki, ANE banyak belajar tentang, kesabaran, kebesaran jiwa dan kemampuan untuk selalu “tabah” dalam menghadapi episode kehidupan.
Pendek kata, dia adalah mahaguru dalam kehidupan, daripadanya ANE banyak merubah kebiasaan (change of habit), sebagaimana judul dari tulisan ini.
Selamat membaca, dan tetaplah pada motto hidup, “Percayalah Pada Harapan, Bukan Pada Ketakutan,” Salamaki.