Suasana pagi di Taman Macan Makassar begitu ramai, tampak para pengguna taman kota adalah mereka yang mencintai olah raga jalan kaki, ada juga tauke-tauke tua yang menggunakan waktu pagi berolah raga sesuai dengan komunitasnya.
Sesungguhnya taman ini merupakan taman untuk istirahat bagi warga kota sambil menikmati suasana pohon rindang, akan tetapi pihak Pemerintah Kota Makassar memanfaatkan pinggirannya dengan memasangi marmer dan jalur pejalan kaki, sehingga ini merupakan sarana olah raga yang murah meriah.
Di ujung taman di pasang sebuah relief MACAN yang memberi kesan sebagai taman macan yang sangar, namun setelah berolahraga di tempat ini badan terasa ringan dan keringat mengucur deras karena penat mengelilingi taman.
Di tempat ini juga tersedia fasilitas untuk bersantai dengan pasangan, sementara di seberang jalan tersedia rumah makan ikan bakar bandeng dengan aroma yang khas, lengkap dengan jus pilihan, mulai dari jus tomat hingga jus buah naga, intinya luangkan waktu berolah raga dan menikmati kuliner di kota yang kini memiliki slogan, Makassar menuju kota dunia.
Seusai olah raga, Penulis melangkahkan kaki mengitari kota dan mampir di rumah orangtua di Jalan Macan 27 Makassar, disini terdapat bangunan baru, rumah lama dibeli seorang tauke dan sebelahnya dibangun dengan tingkat tiga, semuanya kini berubah, anak ponakan sudah mulai beranjak dewasa, sementara saya sudah harus siap-siap memasuki usia pensiun, dari dua kondisi yang saya hadapi maka dapatlah menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak ada yang abadi di mayapada ini.
Sambil menikmati teh panas, menikmati taman yang baru di tata petugas taman kemarin sore, sementara adik-adik memperbaiki bagian-bagian yang perlu penyempurnaan, Penulis menatap sekeliling ternyata semua kini menjadi baru atau terbarukan, namun ada satu hal bahwa para orang tua sudah semakin sepuh dan pembicaraannya berulang-ulang, itu berarti memori yang ada pada diri manusia sudah mulai menurun dan kembali seperti anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang.
Kilas balik perjalanan sejarah, maka tiada pilihan lain, membukukan semua kenyataan hidup, menulis dalam blog dengan redaksi yang berbeda, yang terasakan dan yang terinspirasi. Disini kami dapat menyaksikan dengan mata kepala, dimana yang dahulu begitu gagah perkasa saat ini sudah melemah dan raut muka yang berkeriput, rambut memutih dan pandangan mata yang rabun, namun berbahagialah sang orang gua karena masih menyaksikan anak cucu mereka mendapatkan kedudukan yang walaupun belum sampai di puncak namun sudah memperoleh predikat terpandang dalam tatanan sosial dimasyarakat.
Sejenak naluri dan anganku menyeberangi laut biru, mengangkasa di langit lazuardi hingga akhirnya terdampar dalam pelukan nuansa alam yang begitu ramah, semua kawasan itu sudah kurambah dan menikmati betapa keindahan Tuhan telah titipkan kepada kita semua, untuk dinikmati, disyukuri dan sekaligus sebagai bahan analisis bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang abadi, kecuali keabadian itu sendiri.
Anganku semakin berkecamuk, hingga mataku terpejam karena kepenatan berolahraga, namun anganku terus membuncah dan mengelilingi alam jagat raya, hingga semuanya terasa begitu transparan di hadapanku, masa muda yang begitu tegar hingga sekarang sudah mulai ada pengurangan dari biasanya, namun kucoba untuk tetap dapat tersenyum puas karena nun jauh disana masih ada seseorang yang tetap dengan setia akan menanti di ujung jalan, mengulurkan tangan dan menuntunku hingga suatu saat akan duduk disebuah kursi yang disebut kursi roda.
Saat mengenang akan sejarah kursi roda, sejenak mataku terbelalak, sementara adik-adik mempersilahkan menikmati teh panas yang sudah mulai dingin karena lama tak tersentuh, seperti lamanya anganku menyentuh sesuatu yang ada di ujung anganku, ya semua begitu indah termemori dan terulas rapih yang kadang disebutkan sebagai seorang penulis gila yang mendokumentasikan perasaan hati dan mencatatkannya dalam blog yang penuh pesona, terima kasih dan semangat pagi.