SYAKHRUDDIN.COM – Setelah melayari perairan Teluk Wondama yang mengarah ke laut lepas selama 12 jam perjalanan dengan berbagai pengalaman dan canda dari anggota rombongan. Bermula saat foto bersama di Pelabuhan Laut Yos Soedarso Manokwari.
Kota yang dikenal dengan julukan Manokwari Kota Injil, hingga kami semua harus tidur berjejer laksana pengungsi di atas geladak KM. Grazelia. Salah seorang anggota rombongan yang mabuk laut Ir. Hj. Surya Hutapea dari Kendari harus kami rawat dan bahkan ramai-ramai memijitnya, sampai tertidur setelah muntah dua kali.
Menjelang tengah malam, kami di ajak Ibu Elis Panggalo sering juga kami sapa kepala asrama, untuk santap malam di dek tiga dengan menu yang tersedia pop mie dan teh panas, semua ini kami santap dengan lahap sembari menikmati angin laut yang menerpa buritan kapal, sekaligus membuat goresan pena untuk menjadi catatan manis yang terbuang sayang terbaca ulang.
Malam makin larut, para penumpang menuju ke peraduan dengan mimpi dan pengalaman masing-masing, mayoritas diantara rombongan adalah kali pertama ke Tanah Papua kecuali rekan kami Theys dari Maluku dan Sdr. Ferry Singel Kabid Banjamsos yang pernah datang pada kesempatan pertama ketika bencana banjir bandang melanda Wasior 4 Oktober 2010.
Usai sarapan pagi di salah satu rumah makan di Wasior, kami dibagi dalam empat kelompok masing-masing, kelompok satu di Huntara Kabuow (135 KK), kelompok dua di Iriati (188 KK), kelompok tiga di Huntara Kuras dan kelompok IV di Maimari Perikanan, sebuah hunian sementara yang dibangun jajaran Angkatan Laut dan diberi nama Barak Usman Hattab.
CANDA DI HUNTARA IRIATI
Penulis tergabung dalam kelompok tiga di Iriati, beranggotakan empat orang, H.Syakhruddin (Sulsel), Ambar Ratmoko (Kalteng), Ferry Singel (Manado) dan Zuhainir dari Kementerian Sosial serta pimpinan rombongan DR. Melly dari STKS Bandung.
Beruntung huntara Iriati ini, lokasinya tidak terlalu jauh dari kawasan perkantoran Kabupaten Teluk Wondaman di Wasior, dengan pemandu lokal Ibu Heny yang sudah menjanda dan Pak Ruly yang suka tersenyum, keduanya dengan setia mendampingi kami menuju hunian sementara di Iriati yang terdiri dari 16 barak dan 12 bilik dihuni 188 kepala keluarga.
Kepala Barak Gunawan Romatry dan Sekretaris La Ode Munawar dari Buton yang di bantu Ibu Yurike selaku koordinator korban Wasior bidang perempuan. Yurike juga masih terdaftar sebagai PNS Deperindag Kabupaten Teluk Wondama di Wasior.
Saat kami tiba di ruang pertemuan huntara dengan bangku yang sudah diatur dan penghuni berdatangan satu persatu. Setelah memandu mereka dalam suasana penuh kekeluargaan, sembari mengemukakan maksud kedatangan kami maka dari perwakilan korban mengemukakan keluh kesahnya.
Bapa…., kami dulu saat pertama mengungsi disini banyak terima bantuan pakaian bekas yang sudah tidak layak pakai, ada juga indomie yang sudah kadaluarsa yang membuat kami sakit perut dan berak-berak, tapi keadaan itu sudah berlalu, sudahlah, semua itu sudah lewat tutur kepala barak, sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Lain halnya dengan sekretaris La Ode Munawar, kami sudah setahun di huntara, jadup (jaminan hidup) dari pemerintah baru kami terima dua kali, penerangan listrik tidak ada, untung Dinas Sosial memberi kami genset dua buah. Persoalannya sekarang biaya operasional, kami mengumpul yuran untuk biaya operasional pembelian bahan bakar tapi pendapatan warga juga terbatas.
Apalagi kami disini banyak kategori, ada pegawai negeri, ada tukang ojek, ada penjual di pasar, untung pemerintah membebaskan kami biaya pendidikan dan biaya kesehatan, sehingga itu yang membuat kami masih bisa bernafas lega.
Lain halnya dengan Yurike yang bertindak selaku koordinator Perempuan Korban Banjir Bandang Wasior, Yurike dengan berapi-api bertutur, supaya pemerintah jangan hanya janji-janji saja. Contohnya aliran listrik sudah satu tahun dipasang tiang dan kabelnya, sampai sekarang belum ada penerangan.
Bangunan huntara ini sudah mulai lapuk dan memang daya tahannya hanya untuk dua tahun, yang kami tahu huntara ini dibiayai APBN dan di bangun oleh TNI, karena itu perlakuan korban disamakan dengan mereka yang ada di Mentawai dan Merapi, kami jangan dilupakan pemerintah khususnya waga yang berada di Teluk Wondama ini, tuturnya penuh semangat.
Saat kegiatan psikhososial berlangsung, Penulis mengangkat sebuah KURSI KOSONG dan memberi kesempatan kepada siapa saja yang hadir untuk mengemukan kekesalan kepada kursi kosong. Kegiatan psikholog ini sengaja di setting utuk mengeluarkan semua emosi yang terpendam dalam hati para pengungsi.
Seorang ibu yang berkulit hitam dan mengkomsumsi sirih pinang, mengacungkan tangan, belakangan kami tahu kalau dia bernama Ibu Maria, dengan sikap emosional memaki-maki pemerintah melalui kursi kosong tadi.
Jangan kami dijanji-janji saja, didata mau dikasih bantuan, mana itu …. manaaaaaa…. katanya sambil menunjuk-nunjuk kursi kosong, semua yang hadir memberinya tepuk tangan dan ternyata, masih ada canda di huntara…..!!!
SHOLAT JUMAT DI MASJID AGUNG WASIOR
Usai pertemuan, kami menuju Dinas Sosial Kabupaten Teluk Wondama di Wasior, menurunkan peserta dan pendamping perempuan, selanjutnya sopir yang bernama Hasrul mengantar kami menuju Masjid Agung Al-Falah di Wasior.
Sebelum sampai ke masjid, Hasrul yang juga korban banjir bandang, menunjukkan jejak-jejak keganasan banjir bandang. Hasrul menunjukkan bagaimana air itu datang dari balik pegunungan dengan membawa serta log (kayu bundar besar) bersama lumpur.
Di bekas rumahnya yang kini sudah rata dengan tanah ditunjukkan, termasuk truk yang kini sudah menjadi tumpukan besi tua, lima tahun saya kumpulkan lembaran rupiah, hanya dalam waktu sekejap musnah, dan kini kami bangkit lagi dengan semangat baru, disini kelihatan semangatnya sebagai seorang Bugis sejati.
Akan halnya Hasrul menuturkan, dirinya terseret air bercampur lumpur, dia terlilit di sekitar pohon sagu dekat dermaga, jahitan dikakinya masih berbekas, tapi sorotan matanya yang tajam menunjukkan kalau itu pantang menyerah, saat terdengar suara adzan di Masjid Agung Al-Falah Kab. Teluk Wondaman di Wasior, kami bersama rombongan yang beragama Islam melakukan sholat berjamaah, kemudian foto bersama di halaman masjid sebelum diangkut menuju Hotel Darmaji di jantung Kota Wasior.
BENARKAH HUNTARA DISEWAKAN
Ada tawa dan canda di Huntara, ada pula misteri dan kecemburuan, karena setelah setahun dibangun, sebahagian ada yang sudah bisa mandiri, menyewa atau menumpang di rumah keluarga yang sudah mapan tetapi ada pula yang tetap bertahan, termasuk yang saya dapati dua orang warga dari Sulawesi Selatan.